Konflik Timur Tengah Akan Persulit Negosiasi Perubahan Iklim di COP28
Ketegangan geopolitik akan membuat negosiasi iklim internasional mendatang di KTT Perubahan Iklim COP28 di Dubai menjadi lebih sulit. Persaingan antar negara untuk kepentingan strategis akan menjadi penghalang negosiasi tersebut.
“Negara-negara yang sebelumnya condong ke depan, bersatu untuk mengambil keputusan – mereka tidak banyak berbicara satu sama lain,” kata Menteri Keberlanjutan dan Lingkungan Hidup Singapura, Grace Fu, dikutip dari Straits Times, Sabtu (4/11).
Para pemimpin dunia, politisi dan pakar akan berkumpul pada COP28 di Dubai pada tanggal 30 November hingga 12 Desember untuk mengatasi krisis iklim.
Fu mengatakan, konflik di Timur Tengah, pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama tiga tahun, dan perang di Ukraina telah menyebabkan terkurasnya posisi fiskal pemerintah secara besar-besaran. Hal ini akan menghambat tindakan yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim.
Padahal, ambang batas pemanasan 1,5 derajat derajat celcius pada dekade ini kemungkinan akan terlampaui menjadi antara 1,7 derajat C dan 1,8 derajat C. Berdasarkan Perjanjian Paris tahun 2015, 196 negara berjanji untuk membatasi emisi karbon sehingga pemanasan global dapat dijaga pada suhu 1,5 derajat C di atas suhu pra-industri.
Suhu dunia yang sudah lebih hangat sekitar 1,1 derajat Celcius dibandingkan suhu pra-industri, kini mengalami gangguan pada sistem air dan produksi pangan. “Bayangkan saja kenaikan suhu beberapa derajat lagi akan menjadi bencana bagi dunia,” kata Fu.
Pembangkit listrik, yang merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca, akan menjadi fokus utama dalam mitigasi emisi gas rumah kaca.
“Saya pikir COP ini, kita akan fokus pada pembangkit listrik, kita akan fokus pada jalur transisi energi, untuk mencari tujuan bersama dan target kolektif global,” ujarnya.
Ia menyoroti upaya untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan, melipatgandakan tingkat efisiensi energi dari saat ini 2,2 persen menjadi 4 persen, serta mengeksplorasi teknologi untuk menangani karbon dari sumber-sumber yang sulit dikurangi.
Negara Maju Makin Abaikan Pendanaan Perubahan Iklim
Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB menyampaikan janji negara-negara kaya untuk membantu negara-miskin beradaptasi dengan perubahan iklim telah melambat, padahal cuaca ekstrim semakin sering terjadi. Kelambatan tersebut ditandai dengan adanya kekurangan dana pendanaan iklim sebesar 50%.
Negara-negara maju berjanji untuk menyediakan $100 miliar per tahun dalam bentuk pendanaan iklim untuk negara-negara miskin sejak 2009. Dana tersebut ditujukan untuk membantu negara-negara miskin memitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dan juga beradaptasi dengan kenaikan suhu dan permukaan air laut.
Namun, aliran dana yang ada hanya mencapai $25 miliar selama periode 2017-2021, demikian ungkap Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP). Itu artinya, terjadi kekurangan pendanaan sebesar US$ 194 miliar hingga US$ 366 miliar.
"Tindakan untuk melindungi manusia dan alam menjadi lebih mendesak dari sebelumnya. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan, tindakan yang dilakukan justru terhenti,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters, Jumat (3/11).
Oleh sebab itu, Guterres meminta negara-negara maju agar bisa memenuhi janji untuk melipat gandakan dana adaptasi. Selain itu, dia juga meminta pajak yang dihasilkan dari perusahaan bahan bakar fosil bisa digunakan untuk mengkompensasi kerugian iklim. Mobilisasi dana tersebut akan menjadi topik pembicaraan utama dalam negosiasi KTT COP28 di Dubai pada akhir November 2023.
Sementara itu, peneliti di Chalmers University of Technology dan salah satu penulis laporan UNEP menuturkan, pendanaan untuk iklim dan transisi energi dari negara-negara maju pada 2017-2021 berjumlah sekitar US$3 per orang. Aliran dana tahunan tersebut turun 15% pada 2021.
"Kita benar-benar membutuhkan tindakan adaptasi yang ambisius dalam dekade ini, dan jika tidak, kita akan meningkatkan kerugian dan kerusakan," ujarnya.