Transisi Energi Berpotensi Mengancam 32 Juta Pekerja
Kesepakatan yang dicapai dengan susah payah pada pertemuan iklim COP28 yang mendorong transisi energi dari bahan bakar fosil merupakan langkah penting dalam membatasi pemanasan global. Namun, bagaimana nasib pekerja yang pekerjaan dan pendapatannya bergantung pada produksi dan pemanfaatan bahan bakar fosil?
Dari penambang batu bara hingga insinyur anjungan minyak lepas pantai, 32 juta orang yang bekerja di industri bahan bakar fosil terancam kehilangan mata pencaharian mereka. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan bauran energi global menjadi lebih ramah lingkungan dan meningkatnya penggunaan energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin.
Para ahli memperingatkan bahwa hal ini dapat menyebabkan reaksi keras terhadap peralihan menuju ekonomi rendah karbon. Kecuali, jika ada upaya untuk meredam dampaknya terhadap para pekerja dan masyarakat, serta memastikan bahwa mereka dapat mengakses peluang kerja ramah lingkungan yang baru dan memperoleh keterampilan baru.
Dalam pembicaraan iklim di Dubai, ada juga penekanan yang semakin besar untuk tidak meninggalkan negara-negara dan pekerja yang bergantung pada bahan bakar fosil dan sebagai gantinya mencari "transisi yang adil".
"Dekarbonisasi akan menciptakan jutaan lapangan kerja baru yang layak. Namun, pemerintah juga harus memastikan dukungan, pelatihan dan perlindungan sosial bagi mereka yang mungkin terkena dampak negatif," ujar Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam pidatonya di COP28, seperti dikutip Reuters.
Pada saat yang sama, Guterres mengatakan kebutuhan negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada produksi bahan bakar fosil juga harus diperhatikan.
Berikut ini adalah bagaimana proses iklim PBB berupaya untuk melakukan hal tersebut:
Apa Saja Kesepakatan mengenai Transisi yang Adil di COP28?
Paket keputusan yang diadopsi di Dubai mencatat bahwa peralihan dari energi bahan bakar fosil harus dilakukan dengan cara yang adil, teratur, dan merata. Negara-negara berkembang melipatgandakan seruan mereka untuk mendapatkan dukungan keuangan untuk membantu mereka mengembangkan energi terbarukan.
Di bawah Just Transition Working Program (Program Kerja Transisi Adil) PBB yang baru, sebuah rencana telah disetujui untuk menguraikan "jalur transisi yang adil" untuk mencapai tujuan iklim Perjanjian Paris.
Jalur-jalur tersebut akan berbeda sesuai dengan seberapa besar ketergantungan suatu negara terhadap ekstraksi dan penggunaan bahan bakar fosil, serta tingkat kemiskinan dan pembangunannya.
Untuk memajukan pemahaman tentang isu-isu tersebut, pemerintah sepakat untuk mengadakan dialog dua kali setahun pada pembicaraan iklim PBB di pertengahan dan akhir tahun. Selain itu, ada pertemuan tingkat menteri setahun sekali, yang pertama kali diadakan di Dubai.
Nick Robins, seorang profesor keuangan berkelanjutan di London School of Economics' Grantham Research Institute, mengatakan belum ada perhatian yang cukup terhadap tantangan dan peluang sosial yang muncul dari transisi menuju dunia yang netral karbon.
Ia menyerukan agar ada lebih banyak kepemimpinan dalam kebijakan dan keuangan untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Ia mencatat bahwa sekitar 30% dari 168 rencana aksi iklim nasional yang dinilai oleh sekretariat iklim PBB telah mencakup upaya-upaya menuju transisi yang adil. Sementara itu, hanya 3% dari 150 perusahaan penghasil polusi karbon terbesar di dunia memiliki rencana transisi yang mereka kembangkan bersama para pekerjanya.
Apa yang Perlu Dilakukan untuk Memajukan Upaya Transisi yang Adil?
Robins mengatakan bahwa Program Kerja Transisi Adil dapat membantu lebih banyak negara untuk memasukkan dampak sosial dari transisi energi ke dalam rencana aksi iklim mereka, yang akan diperbarui pada tahun 2025.
Apa yang sedang dipelajari juga dapat membantu mengatasi kebutuhan untuk mengurangi emisi pemanasan bumi di sektor ekonomi lainnya, termasuk kehutanan, pertanian, dan transportasi.
Manal Shehabi, seorang peneliti di Universitas Oxford, Inggris, mengatakan kepada para menteri bahwa upaya-upaya "transisi yang adil" sedang berkembang di luar fokus sempit pada penyediaan pekerjaan yang layak bagi mereka yang meninggalkan pekerjaan berbahan bakar fosil. Akan tetapi, masih ada perbedaan pendapat masih ada mengenai jadwal dan prioritas.
Negara-negara berkembang, misalnya, telah menekankan perlunya menumbuhkan ekonomi mereka dan menarik masyarakatnya keluar dari kemiskinan. Mereka khawatir stabilitas ekonomi dan sosial akan terganggu jika mereka tidak memiliki cukup waktu dan dukungan keuangan untuk menghadapi tantangan yang muncul akibat peralihan ke energi hijau.
Para pendukung hak-hak perempuan telah mengatakan bahwa beban perubahan yang membayangi seharusnya tidak lebih berat bagi perempuan. Perempuan juga harus memiliki akses yang kuat terhadap peluang baru untuk membantu mengatasi ketidaksetaraan yang ada di pasar tenaga kerja.
Apa Saja Tantangan Praktis untuk Mencapai Transisi yang Adil bagi Pekerja?
Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ILO) menyambut baik referensi tentang hak-hak buruh dan perlindungan sosial yang dimasukkan dalam keputusan COP28 tentang transisi yang adil.
Namun, ILO memperingatkan bahwa kurangnya komitmen secara keseluruhan untuk sepenuhnya melibatkan serikat pekerja dalam transisi dari bahan bakar fosil dan bidang-bidang penting lainnya dalam aksi iklim akan menghambat kemajuan. Pasalnya, hal ini berisiko meninggalkan pekerja dan komunitas mereka.
Menurut riset LinkedIn, ancaman utama lainnya terhadap transisi di bidang energi dan upaya menuju emisi nol bersih pada pertengahan abad ini adalah kurangnya keterampilan ramah lingkungan secara global.
Dalam Laporan Keterampilan Hijau Global 2023, LinkedIn menemukan bahwa hanya satu dari delapan pekerja yang memiliki keterampilan hijau, berdasarkan data dari lebih dari 930 juta penggunanya di seluruh dunia.
Situasi ini lebih buruk bagi perempuan, dengan kurang dari satu dari setiap 10 pekerja perempuan yang memiliki keterampilan ramah lingkungan.
Allen Blue, salah satu pendiri LinkedIn dan wakil presiden untuk manajemen produk, mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation di Dubai bahwa ada pengakuan yang semakin besar terhadap defisit keterampilan ramah lingkungan di antara para pekerja dan kebutuhan untuk mengatasinya.
"Sangat mudah untuk meyakinkan pemerintah bahwa hal ini penting, tetapi untuk mendapatkan solusi yang tepat sangatlah berbeda di setiap negara," ujarnya.
Negara-negara Eropa, misalnya, memiliki sistem untuk membantu mengatasi kekurangan ini, namun hal ini menjadi tantangan yang lebih besar di negara-negara berkembang yang kekurangan sumber daya.
Uni Eropa mendukung organisasi-organisasi tenaga kerja, badan-badan pendidikan, dan otoritas publik untuk membantu para pencari kerja di bidang ekonomi hijau di bawah "Pakta Iklim". Sementara itu, Dana Sosial Eropa bertujuan untuk memberikan pelatihan ramah lingkungan bagi 5 juta orang.
Blue mengatakan bahwa salah satu pilihan bagi negara-negara miskin adalah pemerintah harus menetapkan bahwa para investor di bidang energi bersih - dan perusahaan-perusahaan yang menjalankan proyek-proyek tersebut - harus mendanai pelatihan ulang dan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Pelatihan tersebut dapat dilakukan dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM).