Realisasi JETP Lambat Imbas Komitmen Transisi Energi RI Belum Serius
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) lambat direalisasikan. Hal itu karena arah kebijakan pemerintah Indonesia yang belum bisa membuat International Partners Group dan juga lembaga internasional lainnya meyakini komitmen transisi energi di Tanah Air.
JETP merupakan program pendanaan yang diberikan negara-negara maju untuk mendukung transisi energi negara berkembang.
Bhima mengatakan, salah satu faktor keraguan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintan Indonesua yang masih memberikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive di kawasan industri melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022
“Ini membuat pihak yang ingin mendanai pensiun dini PLTU milik PLN menjadi ragu,” kata Bhima saa dihubungi Katadata, Jumat (26/4).
Ia mengatakan, saat ini Sekretariat JETP Indonesia sedang dalam proses pendataan PLTU milik industri. Ia mendorong pendataan ini dipercepat sehingga bisa mendorong dikeluarkannya regulasi baru untuk menghentikan pemberian izin PLTU baru di kawasan industri. Jika tidak ada regulasi baru, maka Indonesia akan kesulitan mencapai target net zero emission (NZE).
Bhima mengatakan, kelebihan listrik PLTU milik PLN yang ada saat ini bisa disalurkan ke kawasan industri, tanpa membuat PLTU baru. Pemerintah juga diharapakan mendorong industri peleburan nikel dapat membangun energi baru terbarukan (EBT).
“Paling tidak yang sudah terlanjur dibangun PLTU batubara di kawasan industri bisa dikurangi kapasitasnya, lalu digantikan dengan energi terbarukan,” ucapnya.
Sebagai informasi, pembangkit listrik tenaga batu bara yang dioperasikan oleh industri tidak disertakan dalam rencana JETP. Pemerintah memerlukan lebih banyak waktu untuk memikirkan cara melindungi sektor industri pertambangan, terutama peleburan nikel.
Ia mengatakan, lemahnya regulasi terkait pembangunan PLTU baru ini membuat progres dari pensiun dini PLTU yang masuk dalam skema JETP bisa dikatakan sangat lambat prosesnya, termasuk di Pelabuhan Ratu maupun Cirebon 1.
“Hingga saat ini belum ada kepastian kapan akan dipensiunkan karena saling mengunc,” ujar dia.
Sebelumnya, Sekretariat JETP telah merilis dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang berisi rencana pelaksanaan proyek JETP di Indonesia. Salah satu rencana tersebut terkait penghentian PLTU batu bara, pada November 2023.
"Sebelum tahun 2030, tidak akan ada PLTU yang dipensiunkan, penutupan (PLTU) paling awal akan dilakukan pada tahun 2035/2036," kata Sekretariat JETP dalam dokumen tersebut
Sekretariat JETP memproyeksikan, selama periode 2022-2030 kapasitas PLTU batu bara Indonesia masih akan bertambah hingga totalnya mencapai 40,6 gigawatt (GW) pada 2030.
Kemudian pada 2035 kapasitasnya diproyeksikan mulai berkurang jadi 39,4 GW, dan terus menyusut hingga mencapai 0 GW pada 2050 seperti terlihat pada grafik di atas. Adapun pemensiunan PLTU batu bara rencananya akan dipercepat setelah 2040.
Sekretariat JETP mengestimasikan, untuk menyiapkan pensiun dini dan penghentian bertahap PLTU batu bara, Indonesia membutuhkan investasi hingga US$1,3 miliar sampai 2030. Namun, seluruh rencana yang tertuang dalam CIPP ini masih berstatus draf dan belum punya kekuatan hukum mengikat.