PLTU Batu Bara RI Diprediksi Naik 100% pada 2030, Emisi Bakal Meroket
Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Indonesia diprediksi mencapai 70 Gigawatt (GW) pada 2030. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dibandingkan kapasitas batu bara semester I 2023 sebesar 38,65 GW.
Laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan New Climate Institute (NCI) menyatakan kenaikan kapasitas ini sebagian besar didorong oleh adanya pembangkit batu bara captive atau off-grid yang digunakan oleh industri.
"PLTU batu bara diperkirakan akan berkontribusi hingga 85% untuk memenuhi pasokan listrik pada 2030," tulis laporan tersebut, dikutip Kamis (2/5).
Kondisi tersebut menyebabkan emisi gas rumah kaca dari PLTU batu bara dapat meningkat menjadi 300 MtCO2 untuk PLTU on-grid, ditambah 200 MtCO2 untuk PLTU off-grid atau captive. PLTU on grid adalah pembangkit yang termasuk jaringan PLN. Sementara PLTU off grid atau captive adalah pembangkit yang berada di luar jaringan PLN, contohnya yaitu yang dimiliki oleh industri swasta.
Tingginya potensi emisi tersebut berdampak pada peluang Indonesia untuk mendapatkan pembiayaan transisi energi, termasuk Just Energy Transition Partnership (JETP). Ketidakpastian kebijakan dalam waktu pembatasan produksi dan pensiun dini PLTU akan menyebabkan emisi jauh di atas ambang target JETP sebesar 290 MtCO2 di 2030.
Penghentian PLTU on-grid sesuai target JETP diketahui tertera dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Namun tidak ada persyaratan untuk menghentikan PLTU yang sedang dalam proses konstruksi baik di sektor listrik maupun pembangkit batu bara captive.
Pensiun Dini PLTU
Masih dalam laporan yang sama, pembatasan produksi dan pesiun dini PLTU dianggap menjadi sangat penting untuk menekan emisi sesuai target JETP. Hal ini dapat dicapai melalui lembaga keuangan publik yang dikombinasi dengan reformasi kebijakan. Keduanya, bisa berperan dalam membangun insentif untuk mempercepat pembatasan operasi dan pensiun dini PLTU.
Dengan tidak adanya transisi energi bersih atau baru terbarukan (EBT), pemilik pembangkit batu bara captive kemungkinan dapat mengoperasikan aset mereka lebih lama hingga 2040. Selain itu, mereka berkesempatan untuk menaikkan kapasitas lebih tinggi yang tidak selaras dengan dari Perjanjian Paris.
Oleh karena itu, lembaga keuangan harus bekerja sama dengan pembuat kebijakan untuk memastikan modal yang diberikan untuk mempercepat transisi energi bersih. Akhirnya pemiliki pembangkit batu bara captive mendorong industri beralih ke energi bersih.
“Keuangan publik yang ditargetkan dapat mengimbangi beberapa kerugian yang berpotensi dihadapi pemilik pabrik batu bara sebagai bagian dari kesepakatan yang dinegosiasikan untuk pensiun aset lebih awal atau membatasi operasi mereka (atau keduanya),” tulis laporan tersebut.