Realisasi Pensiun Dini PLTU Lambat Imbas Regulasi yang Kaku
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pendanaan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara terhambat regulasi di Indonesia. Padahal saat ini sudah ada sejumlah pendanaan untuk pensiun dini PLTU seperti energi transition mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JEPT), namun belum behasil dieksekusi.
Menurutnya, hambatan tersebut terjadi karena pemerintah masih mengkaji mengenai risiko hukum soal implikasi kerugian negara.
"Jadi regulasi yang ada sekarang masih sangat kaku, belum mampu menjadi payung untuk percepatan transaksi penutupan PLTU batubara baik yang dimiliki PLN maupun swasta," ujar Bhima saat dikonfirmasi Katadata, Jumat (2/8).
Bhima mengatakan, salah satu regulasi yang dinilai dapat menghambat realisasi JETP adalah peraturan presiden (Perpres) 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam Perpres tersebut, terlihat pemerintah masih memperbolehkan PLTU di kawasan industri. Dengan begitu, peraturan itu terlihat kontradiksi dengan semangat untuk mempercepat transisi energi.
"Selama PLTU baru dibuka di kawasan industri, maka imbasnya kreditur JETP tidak menarik investasi di penutupan PLTU dan pembangunan jaringan transmisi EBT," ujarnya.
Selain itu, belum disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) juga menjadi halangan masuknya dana JETP.
Bhima mengatakan, permasalahan tersebut membuat proses pensiun dini PLTU Cirebon I belum dapat terealisasikan sampai dengan saat ini.
Selain itu, terkait dengan pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu yang menghadapi hal lebih kompleks jika dibandingkan dengan PLTU Cirebon I. Permasalahan tersebut mengenai pengalihan aset PLTU dalam dua skema yang membuat pemerintah bingung dalam mengambil keputusan.
"Mengalihkan aset dibawah harga pasar atau harga buku (book value). Pejabat akhirnya takut buat ampil keputusan," ujarnya.
Percontohan Pensiun Dini
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Indonesia sedang memfinalisasi paket pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) berkapasitas 660 megawatt (MW) yang akan menjadi proyek percontohan untuk transisi energi.
“Saat ini, kami sedang dalam tahap finalisasi paket pensiun dini untuk pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 660 MW yang akan menjadi proyek percontohan kami,” ujarnya dalam Business Session Dewan Gubernur Asian Development Bank (ADB) di Tbilisi, Georgia, Minggu (5/5).
Sesi tersebut merupakan salah satu dari rangkaian Pertemuan Tahunan Ke-57 ADB yang diselenggarakan pada 2-5 Mei 2024.“Kami berharap proyek ini dapat sukses dan direplikasi di pembangkit listrik tenaga batubara lainnya,” kata Menkeu.
Pada kesempatan itu, Sri Mulyani mengundang negara dan pihak lain untuk mendukung kebutuhan finansial dalam melakukan transisi energi dari fosil ke energi ramah lingkungan di Indonesia.
“Mengingat besarnya kebutuhan finansial untuk transisi energi, kami ingin mengundang negara dan pihak lain untuk mendukung kami,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menuturkan transisi ke energi terbarukan menghadirkan tantangan yang berat, karena ketergantungan Indonesia pada batu bara dan sumber daya tak terbarukan lainnya.
Meskipun ada kebutuhan untuk beralih ke energi terbarukan, tingginya biaya untuk melakukan transisi tersebut menimbulkan beban keuangan yang signifikan. Meskipun demikian, Indonesia tetap berkomitmen untuk mencapai target 66% energi terbarukan pada 2050, meskipun diperlukan investasi besar untuk mencapai tujuan tersebut.
Indonesia telah membentuk platform Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mempercepat kemajuan transisi, dengan ADB memainkan peran penting dalam hal ini.
Sebelumnya, Indonesia dan ADB sebagai lembaga keuangan internasional yang memberikan pinjaman, jaminan, investasi modal, hibah dan bantuan teknis kepada negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik menyepakati komitmen percepatan pelaksanaan pensiun dini PLTU di Indonesia, yang dijalankan dalam kerangka ETM.
ADB telah menandatangani perjanjian kerangka kerja tidak mengikat untuk mendukung penghentian operasional PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 MW, yang seharusnya berakhir pada Juli 2042 dipercepat menjadi Desember 2035.
Kesepakatan itu ditandatangani oleh ADB, PT PLN dan PT Cirebon Electric Power (CEP) serta lembaga pengelola investasi Indonesia (INA) di sela-sela COP28 Dubai, Uni Emirat Arab pada awal Desember 2023.