BRIN Ungkap Empat Tantangan Pengembangan Energi Surya di Indonesia
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat terdapat setidaknya empat tantangan dalam pengembangan bauran energi khususnya dari sektor Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia.
Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Konservasi dan Konservasi Energi BRIN, Arya Rezavidi, mengatakan tantangan pertama dari pengembangan energi surya yaitu tidak adanya evaluasi terhadap kebijakan pemerintah. Dia mengatakan, pemerintah beberapa kali membuat target dalam sebuah kebijakan, namun seringkali tidak diiringi dengan evaluasi.
“Pemerintah seringkali membuat target kebijakan dan semuanya pada saat pelaksanaanya tidak ada satupun yang melakukan evaluasi. Ini perlu dilakukan (evaluasi) untuk kita mengejar Net Zero Emission (NZE),” ujar Arya dalam Media Breafing, Selasa (13/8).
Arya mengatakan, faktor kedua adalah pandangan bahwa harga Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak menarik jika dibandingkan dengan energi fosil. Pasalnya, EBT selama ini memberikan eksternal cost atau manfaat dari kegiatan ekonomi yang dialami oleh masyarakat di kawasan pembangkit.
Selain itu, permasalahan lainya adalah mengenai intermitensi atau produksi pembangkit EBT yang masih bergantung pada faktor cuaca. Dengan demikian, pembangkit EBT tersebut tidak bisa digunakan dalam waktu 24 jam. Dia mengatakan, intermitensi tersebut dapat diatasi dengan tekologi penyimpanan yang banyak dikembangkan saat ini.
“Tidak hanya battery storage, tapi pump storage merupakan salah satu potensi yang dikembangakan di Indonesia,” ujarnya.
Dia mengatakan, ttantangan lainya adalah minimnya insentif yang diberikan pemerintah Indonesia kepada pengembang industri PLTS. Padahal, industri masih dalam tahap pengembangan sehingga produsen atau pengembang PLTS memerlukan insentif untuk melakukan percepatan.
“Semua dimulai adanya perlindungan dan perkembangan percepatan, ketika masih belum berkembang harus bersaing dengan pembangkit lain yang relatif banyak dikembangkan,” ucapnya.
Arya mengatakan, tantangan lainya adalah aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tidak sesuai karena belum mencerminkan kesiapan rantai pasok industri nasional.