Indonesia Masih Menunggu Realisasi Pendanaan G7 untuk Pensiun Dini PLTU
Indonesia masih menunggu pendanaan yang lebih murah untuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) di bawah sebuah pakta dengan negara-negara kaya yang tergabung dalam kelompok G7. Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di konferensi Coaltrans Asia, Senin (9/9).
Negara-negara G7 menjanjikan pendanaan untuk Indonesia sebesar US$20 miliar sebagai bagian dari Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) yang diluncurkan pada 2022. Namun, hingga kini dana yang telah disalurkan masih sangat minim.
Luhut mengatakan bahwa mekanisme pembiayaan saat ini tidak mencakup hibah, dan tidak memperbaiki masalah-masalah yang ada seperti biaya pensiun yang tinggi. “Jika Anda mendorong kami untuk memensiunkan pembangkit listrik batu bara kami lebih awal, bagaimana kami membiayainya? Bunga dari pembiayaan tersebut harus menarik,” ujar Luhut pada konferensi Coaltrans Asia seperti dikutip Reuters, Senin (9/9). Menurutnya tidak ada gunanya jika pendanaan itu menawarkan tingkat bunga komersial.
Indonesia mencari suku bunga yang lebih murah daripada yang ditawarkan oleh pasar. Negara terbesar di Asia Tenggara ini membutuhkan US$94,6 miliar (Rp 1.462,12 triliun) pada tahun 2030 untuk mengembangkan infrastruktur transmisi dan pembangkit listrik bersih demi mengurangi penggunaan listrik dari batu bara.
Pendanaan hibah yang diidentifikasi dalam dokumen JETP hanya berjumlah US$153,8 juta (Rp 2,38 triliun) dari total pendanaan yang dijanjikan.
Kurangnya kemajuan dalam transaksi pendanaan iklim tunggal terbesar itu telah menghambat upaya produsen listrik tenaga batu bara terbesar ketujuh di dunia ini untuk mengurangi emisi.
Luhut mendesak negara-negara lain untuk tidak menguliahi Indonesia tentang dekarbonisasi. Ia mengutip sebuah presentasi di mana ia memberi tahu Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen bahwa emisi Indonesia per kepala jauh lebih rendah daripada emisi Amerika Serikat.
"Dengan 2,3 metrik ton, emisi karbon dioksida Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai 14,7 ton per kapita dan di bawah rata-rata dunia yang mencapai 4,5 ton," ujar Luhut.