Trend Asia Prediksi Permintaan Pelet Kayu Bakal Capai 36 Juta Ton pada 2034
Lembaga think-tank Trend Asia melihat industri pelet kayu (wood pellet) masih akan terus berkembang di dunia. Dalam sepuluh tahun ke depan, Trend Asia memperkirakan permintaan terhadap pelet kayu untuk pasokan biomassa akan mencapai 36 juta ton.
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi, Trend Asia, mengatakan permintaan pelet kayu dunia pada 2017 tercatat sebesar 14 juta ton.
"Dalam sepuluh tahun ke depan, diprediksi permintaan akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta ton. Siapa sih yang memanfaatkan? United Kingdom (Inggris)," ujar Amalya dalam Roundtable CSO dengan media, di Jakarta, Kamis (26/9).
Dari data tersebut, permintaan terbesar palet kayu diperkirakan datang dari beberapa negara yang tergabung di Uni Eropa dan beberapa negara di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Berdasarkan catatan Trend Asia, negara yang paling banyak mengimpor pelet kayu pada 2017 adalah Inggris, yakni mencapai 6,8 juta ton per tahun. Selanjutnya, permintaan terbesar akan pelet kayu datang dari Denmark 2,3 juta ton, Korea Selatan 2,4 juta ton, dan Jepang 1,5 juta ton.
Negara penyuplai pelet kayu terbesar di dunia pada 2017 adalah Amerika Serikat dengan produksi 5 juta ton per tahun dan Kanada dengan 2,2 juta ton per tahun.
Menurut Amalya, dalam beberapa tahun ke depan mayoritas pasokan biomassa diprediksi akan datang dari hutan-hutan negara berkembang, seperti Indonesia, Vietnam, dan Brasil. Pertumbuhan permintaan yang besar terhadap pelet kayu ini dikhawatirkan akan membuat hutan-hutan di negara tersebut mengalami deforestasi besar-besaran.
"Hal ini memungkinkan deforestasi besar-besaran di negara-negara di belahan dunia bagian selatan (Global South), termasuk penghancuran biodiversitas di dalamnya. Kontradiktif terhadap komitmen iklim internasional," ujarnya.
Trend Asia memproyeksikan suplai dan permintaan global terhadap biomassa dari hutan meningkat hingga 250% selama satu dekade ke depan. Amalya menyebut biomassa dari hutan mendominasi produksi energi terbarukan sehingga mengalahkan energi angin dan surya, termasuk jenis energi lainnya dalam hal subsidi.
"Asia akan mengikuti kesalahan Eropa dan Amerika Serikat dalam pengembangan bioenergi dengan mendorong pembangkit biomassa skala besar. Jepang dan Korea Selatan telah mengikuti langkah Eropa dalam hal subsidi biomassa," ujarnya.