IESR: Kapasitas PLTU Perlu Dikurangi 3 GW per Tahun untuk Capai Target Iklim

Image title
27 September 2024, 11:47
Suasana di PLTU Suralaya, Kota Cilegon, Banten, Kamis (15/8/2024).
ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/gp/foc.
Suasana di PLTU Suralaya, Kota Cilegon, Banten, Kamis (15/8/2024).
Button AI Summarize

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan diperlukan pengurangan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebesar 2-3 GW setiap tahunnya hingga 2045 untuk selaras dengan pencapaian target kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celsius. Karena itu, Indonesia membutuhkan pendanaan untuk membuat pensiun dini PLTU tersebut layak secara finansial.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 13 tahun 2023 tentang pembiayaan percepatan transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Dia berharap, penerapan aturan ini mengedepankan tranparansi dalam penentuan keputusan dan alokasi pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk dukungan pendanaan.

IESR memperkirakan investasi untuk mencapai dekarbonisasi di sistem energi sebesar US$ 30-40 miliar per tahun atau total US$ 1.380 miliar hingga 2050.

Dia mengatakan, pelaksanaan pensiun PLTU perlu mempertimbangkan beberapa faktor penentu, misalnya usia PLTU yang mencapai sedikitnya 20 tahun atau telah melewati usia ekonomisnya dan juga penggunaan teknologi PLTU.

"Selain itu, perlu pula diperhatikan dampaknya terhadap keamanan energi dan mekanisme pembiayaannya,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Jumat (27/9).

Berdasarkan studi Climate Policy Implementation Check, IESR menyoroti tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PMK No. 103/2023 untuk memastikan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Pertama, diperlukan harmonisasi kebijakan lintas sektor untuk memastikan PMK ini sejalan dengan kebijakan terkait, seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) batubara, subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan fiskal lainnya.

Kedua, meningkatkan transparansi dan mekanisme pelaporan dan evaluasi kebijakan yang sejauh ini belum termuat dalam regulasi tersebut. Ketiga, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai pengelola platform perlu memperkuat mandatnya untuk mengakses sumber daya keuangan yang lebih besar. Selain itu, platform ini perlu memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mekanisme pemulihan biaya.

Staf Program Transisi Berkeadilan IESR, Muhammad Aulia Anis mengatakan alokasi anggaran mitigasi iklim dari APBN untuk sektor energi dan transportasi mencapai Rp 19,5 triliun atau sekitar US$ 1,3 miliar pada 2022. Jumlah ini menunjukkan pemerintah mulai berkomitmen untuk mendukung transisi energi.

Namun, menurut Aulia, investasi ini masih jauh dari angka yang dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi berkeadilan. Dengan demikian, Indonesia masih membutuhkan lebih banyak sumber pendanaan publik dan swasta. Menurutnya, transisi energi di Indonesia membutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya mempercepat penggunaan energi terbarukan tetapi juga mengatasi berbagai kesenjangan dalam institusi, pengawasan, dan pendanaan.

"Pemerintah perlu terus memperkuat kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mewujudkan transisi energi yang cepat, adil, dan berkelanjutan,” ujar Aulia.

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...