Celios: Transisi Energi dengan Biomassa Berpotensi Menyebabkan Deforestasi
Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai ambisi pemerintah dalam pengembangan biomassa sebagai alternatif bahan bakar fosil dalam transisi energi berpotensi menyebabkan deforestasi hutan Indonesia.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, besarnya kebutuhan co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dari pelet kayu, baik dalam negeri maupun luar negeri, menjadi faktor yang mendorong adanya deforestasi untuk pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE).
Dalam mencapai emisi karbon yang lebih rendah, terlihat tren ekspansi perusahaan Jepang dalam mengendalikan industri hutan tanaman energi di Kalimantan Tengah melalui perusahaan yang mengelola dari hulu ke hilir. Hal tersebut terjadi karena Jepang merupakan pembeli pelet kayu terbesar di Indonesia, dengan jumlah 10 juta ton pada 2023.
"Kami melihat tren ekspansi perusahaan Jepang, dengan sertifikasi longgar yang mengabaikan masalah lingkungan, konflik agraria, dan ekologi. Ambisi Jepang telah memicu deforestasi di Kalimantan," ujar Bhima dalam keterangan tertulis, Rabu (13/11).
Bhima mengatakan, komitmen dekarbonisasi Jepang melalui standar seperti Japanese Agricultural Standard (JAS), Green Purchasing Act (GPA), dan Eco Mark Program (EMP) terbukti kurang efektif dalam menangani isu rantai pasok pada PT Korintiga Hutani.
Menurutnya, pemerintah Jepang hanya mengandalkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia yang bermasalah. Sementara itu, kerangka hukum Indonesia yang market-driven membuat sertifikasi lebih sebagai alat pemasaran daripada bentuk kepatuhan substansial.
HTE Berorientasi pada Industri Ekstraktif Kehutanan
Sementara itu, Direktur Hukum Celios Mhd Zakiul Fikri, mengatakan terdapat potensi masuknya pengembangan produksi HTE melalui Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini akan memperluas ketimpangan akses terhadap lahan oleh masyarakat, terutama lahan hutan.
“Kita bisa bayangkan, tanpa PSN saja saat ini ketimpangan akses terhadap lahan terjadi secara masif. Misal, hasil temuan studi yang Celios luncurkan menunjukkan secara gamblang ketimpangan akses terhadap lahan di Kabupaten Kotawaringin Barat. Sebab, secara de jure, satu perusahaan menguasai 20% lahan di kabupaten tersebut,” ujar Fikri.
Fikri mengatakan, proyek HTE sejak awal tidak berorientasi pada bagi hasil dan keterlibatan masyarakat sekitar, tetapi berorientasi pada industri ekstraktif kehutanan. Karena itu, segala bentuk skema kehutanan yang dibuat untuk mendukung kelangsungan proyek tersebut berorientasi pada industri.
Akibatnya, proyek tersebut menyebabkan terjadinya disorientasi reforma agraria di sektor kehutanan. Contoh, pemanfaatan skema Hutan Tanaman Rakyat yang idealnya diperuntukkan bagi penataan akses hutan supaya rakyat bisa mengelola hutan tersebut sesuai dengan peruntukkan yang mereka kehendaki, malah dibajak oleh perusahaan untuk kepentingan peningkatan kapasitas produksi mereka.
"Ini yang terjadi di PT Korintiga Hutani di Kabupaten Kotawaringin Barat. Apakah itu reforma agraria yang Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 inginkan? Tentunya tidak," ujarnya.
Menurut informasi di situs PT Korintiga Hutani (KTH), perusahaan merupakan pemimpin pasar dalam penyediaan kayu, pengolahan kayu, dan listrik berbasis biomassa di Indonesia. Perusahaan mendukung sistem sertifikasi berkelanjutan internasional, seperti PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification).