Pertamina Siapkan 200 SPBU Pertamax Green di 2025

Image title
24 Desember 2024, 13:38
Direktur Logistik & Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution melakukan pengisian Bahan Bakar Pertamax Green 95 saat acara pengenalan bahan bakar Pertamax Green 95 di SPBU Pertamina 31.128.02, MT Haryono, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (24/07/2023).
Pertamina
Direktur Logistik & Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution melakukan pengisian Bahan Bakar Pertamax Green 95 saat acara pengenalan bahan bakar Pertamax Green 95 di SPBU Pertamina 31.128.02, MT Haryono, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (24/07/2023).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

PT Pertamina Patra Niaga berambisi menambah SPBU penjualan Pertamax Green hingga dua kali lipat dari sebelumnya 105 outlet menjadi 200 outlet di 2025. 

Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, mengatakan animo masyarakat akan BBM hijau sangat bagus yang terlihat dari pertumbuhannya. Pertamax Green diklaim lebih ramah lingkungan karena menggunakan bioetanol 5%. Selain itu, ini merupakan BBM dengan nilai oktan RON 95 dan sudah sesuai standar euro 4.

"Kalau untuk Pertamax Green kami lihat juga saat ini growth-nya cukup bagus," ujar Heppy saat dikonfirmasi Katadata, Selasa (24/12).

Heppy mengatakan, Pertamax Green pertama kali diluncurkan ada Juli 2023 di sekitar 12 outlet dan sampai dengan November 2024 produk tersebut sudah tersedia di 105 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik Pertamina. Ia mengatakan, dengan penjualan yang terus meningkat dan respon positif masyarakat terhadap Pertamax Green 95, perusahaan akan terus memperluas area pemasaran pada 2025.

"Jadi kita targetkan di tahun 2025 sih yaitu sekitar 200 outlet bisa tercapai," ucapnya.

Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut BBM standar Euro IV seperti Pertamax Green bisa jadi solusi polusi udara di Indonesia, terutama pada periode Juni hingga Agustus yang bertepatan dengan puncak musim kemarau. Berdasarkan penelitian IESR bersama dengan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI), Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), dan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dan didukung oleh Katadata Green dan ViriyaENB, penerapan BBM Euro IV mulai dari 2025 hingga 2030 dapat mengurangi polusi udara di Jabodetabek, termasuk menurunkan polutan particulate matter (PM) 2.5 hingga 96 persen serta SOx, NOx hingga 82-98 persen.

"Sedangkan tanpa perubahan, beban polusi dari kendaraan diestimasi akan meningkat sekitar 30-40 persen pada 2030 nanti, dikarenakan peningkatan jumlah kendaraan dan jumlah aktivitas transportasi," ujar Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (19/12).

Fabby mengatakan, BBM Euro IV memiliki kandungan sulfur setara 50 ppm. Sebaliknya, lebih dari 90 persen BBM yang beredar di pasar Indonesia berkualitas rendah dengan kandungan sulfur tinggi, mencapai 150-2.000 ppm.

Tingginya kandungan sulfur dalam BBM menyebabkan rendahnya kualitas udara, meningkatnya masalah kesehatan, dan menambah biaya pengobatan. Selain itu, polusi udara di Jakarta menambah beban biaya kesehatan terkait polusi seperti pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan penyakit jantung iskemik.

Data BPJS menunjukkan klaim pengobatan terkait polusi udara di Jakarta hampir mencapai Rp1,2 triliun pada 2023, dengan penyakit jantung iskemik berkontribusi sebesar Rp471 miliar dan penyakit influenza, serta pneumonia sebesar Rp409 miliar. Maka dari itu, Indonesia perlu segera menerapkan Euro IV dengan didukung kebijakan yang terintegrasi, disertai dengan pengawasan dan penegakan aturan yang ketat.

"Pemerintah perlu memastikan kesiapan kilang domestik untuk memenuhi BBM Euro IV. Meski membutuhkan investasi signifikan, kolaborasi pemerintah dan swasta dalam teknologi serta infrastruktur kilang akan membawa manfaat yang jauh lebih besar bagi lingkungan, kesehatan, dan ekonomi,” ungkapnya.

Sementara itu, Analis Kebijakan Lingkungan IESR, Ilham R. F. Surya, mengatakan penerapan Euro IV akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi BBM sekitar Rp200 - Rp500 per liter.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan ruang fiskal untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari penerapan peta jalan Euro IV tersebut. Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan skema pembiayaan peningkatan biaya produksi BBM dengan berbagai skenario seperti tambahan biaya jika ditanggung oleh pemerintah, dibebankan kepada konsumen atau dengan membatasi akses BBM bersubsidi bagi kelompok masyarakat tertentu.

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...