Pemerintah Masih Gencar Beri Insentif Batu Bara, Setengah Hati Pensiun Dini PLTU


Jejaring kampanye global independen, Greenpeace Indonesia, menyoroti pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengatakan program pensiun dini PLTU jangan dipaksakan karena keterbatasan anggaran. Di sisi lain, pemerintah masih gencar memberikan insentif ntuk industri batu bara.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan pernyataan tersebut menunjukkan komitmen pemerintah yang setengah hati dalam mempercepat transisi energi. Pensiun dini PLTU adalah langkah krusial untuk mengurangi emisi dan mencapai target net zero.
“Jika pemerintah serius dengan transisi energi, maka seharusnya anggaran negara dan kebijakan fiskal diarahkan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, bukan terus memberi subsidi pada batu bara," ujar Bondan dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (5/2).
Padahal, Bondan mengatakan, pemerintah memberikan untuk industri batu bara. Hal itu termasuk royalti nol persen dan skema Domestic Market Obligation (DMO) yang justru memperpanjang usia PLTU Batubara.
Selain itu, penerapan pajak karbon juga seharusnya diberlakukan untuk PLTU telah dibatalkan oleh Pemerintah. Hal ini sangat disayangkan mengingat pemberlakukan pajak karbon bisa menjadi sinyal keseriusan Pemerintah dalam melakukan transisi energi.
Dia mengatakan keterbatasan anggaran negara semakin memperjelas bahwa transisi energi di Indonesia yang membutuhkan biaya besar ini perlu didukung oleh pembiayaan swasta. Namun, dengan pernyataan yang kontradiktif ini hanya akan memberikan sinyal yang membingungkan bagi lembaga keuangan global yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk mendukung transisi energi Indonesia.
"Sikap tidak konsisten ini dapat merusak kepercayaan para investor dan semakin memperlambat laju investasi bagi transisi energi," ujarnya.
Bondan mengatakan, pernyataan membingungkan lainnya juga disampaikan oleh Menteri ESDM yang menyebut bahwa Indonesia perlu mengikuti langkah negara maju khususnya Amerika Serikat yang akan keluar dari Perjanjian Paris pada 2025.
Sebaliknya, situasi ini justru harus menjadi pemicu bagi Indonesia untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara maju lainnya yang tetap berkomitmen terhadap transisi energi.
“Alih-alih menjadikan keluarnya AS sebagai alasan untuk memperlambat transisi energi, Indonesia harus mengambil peluang untuk mencari dukungan lebih besar dari negara-negara maju lainnya yang tetap berkomitmen untuk dekarbonisasi sektor energi, seperti Uni Eropa, Jepang, bahkan China," ujarnya.
Ia mengatakan, pernyataan Menteri ESDM berlawanan dengan pesan yang disampaikan Presiden Prabowo di forum G20. Pada forum tersebut, Presiden menegaskan bahwa transisi energi merupakan prioritas bagi Indonesia. Jika pemerintah ingin mempertahankan kredibilitasnya di mata dunia, maka kebijakan transisi energi harus dijalankan dengan konsisten, bukan dengan sinyal yang membingungkan.
Untuk itu, pemerintah seharusnya tidak hanya menunggu pendanaan dari luar, tetapi juga berani mengambil langkah-langkah kebijakan yang progresif untuk mendorong pensiun dini PLTU Batubara.
"Ini termasuk mengalihkan subsidi energi fosil ke energi bersih, memperketat standar emisi bagi PLTU, mempercepat reformasi di sektor kelistrikan agar lebih kompetitif bagi energi terbarukan, serta memastikan transisi energi yang adil bagi masyarakat terdampak," ujar Bondan.