Kementerian ESDM Ungkap Alasan Peta Jalan Transportasi Berbasis Hidrogen Mandek


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan peta jalan terkait transportasi berbasis hidrogen hingga saat ini belum bisa dirampungkan. Hal itu karena masih terkendala terhadap regulasi dan juga insentif.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan pemberian insentif untuk transportasi berbasis hidrogen harus menunggu Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) rampung. Namun hingga kini, RUU EBET masih memerlukan pembahasan lebih lanjut.
“Jadi, dasarnya itu yang membuat kita mandek karena regulasi tidak ada,” kata Eniya seperti dikutip dari Antara, Senin (17/2).
Menurut dia, dalam RUU EBET terdapat salah satu pasal yang menekankan bahwa para pelaku atau badan usaha yang melakukan mitigasi iklim ataupun memiliki kegiatan penurunan emisi bakal mendapatkan insentif via emisi karbon.
“Tidak ada untuk mengalihkan, misalnya mengalihkan insentif dari fosil ke yang renewable. Nah, nanti kalau sudah ada cantolan dasar hukumnya baru kita upayakan bagaimana modelnya,” ujar dia.
Dia mengatakan transportasi berbasis hidrogen saat ini masih dianggap mahal. Oleh sebab itu, dibutuhkan insentif untuk mengimplementasikan transportasi energi bersih tersebut
Menurut dia, Jepang yang saat ini sudah mulai memasarkan kendaraan berbasis hidrogen menjual kendaraan tersebut dengan harga yang cukup terjangkau, yakni 1.7 juta Yen atau setara dengan Rp180.908.900.
Eniya meyakini harga kendaraan tersebut di Indonesia akan lebih murah jika banyak produsen otomotif yang memproduksi kendaraan tersebut secara lokal.
Untuk saat ini, Indonesia telah memiliki dua lokasi Stasiun Pengisian Bahan Bahar Hidrogen (SPBH) yang berada di Senayan, Jakarta Selatan dan juga Karawang, Jawa Barat. Kehadiran dua SPBH ini diharapkan menjadi stimulus berkembangnya kendaraan jenis hidrogen di Indonesia.