Studi Terbaru: Biaya Bangun PLTU Baru Lebih Mahal Dibanding Pembangkit EBT

Ringkasan
- Dibutuhkan kebijakan kuat, seperti insentif proyek hijau atau pajak karbon, untuk mendorong pembiayaan iklim karena investasi iklim masih dianggap mahal dan tidak menjadi prioritas.
- Insentif proyek hijau dan pajak karbon dapat membuat pembiayaan iklim lebih menarik dan mendorong praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan.
- Singapura telah berhasil menerapkan pajak karbon dan insentif investasi hijau, yang menghasilkan pertumbuhan yang baik dan porsi investasi hijau yang besar di Asia Tenggara, sehingga Indonesia dapat mengadopsi kebijakan serupa untuk mempercepat transisi ke ekonomi rendah karbon.

Lembaga think tank di sektor energi dan berkelanjutan, Ember, menemukan biaya pembangunan dan operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara captive saat ini akan lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).
PLTU captive adalah pembangkit listrik batubara yang terintegrasi langsung ke area industri. PLTU captive dikelola dan digunakan oleh pengguna energi industri atau komersial untuk konsumsi energi mereka sendiri.
Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia di Ember, Dody Setiawan, mengatakan PLTU baru akan menghadapi banyak tantangan, baik dari sisi finansial maupun regulasi. Dengan kebijakan saat, ini maka PLTU baru hanya dapat beroperasi hingga 2050, dan harus mengurangi emisi hingga 35% dalam waktu 10 tahun.
Selain itu, PLTU baru juga tidak akan mendapatkan keuntungan dari harga batu bara yang berasal dari subsidi pemerintah melalui domestic market obligation (DMO). Hal ini akan memaksa operator untuk membayar harga pasar.
“Biaya pembangkitan listrik dari PLTU captive yang baru akan lebih tinggi daripada listrik dari PLN dan dari energi terbarukan,” ujar Dody dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (20/2).
Dody memperkirakan biaya tersebut dapat mencapai US$ 7,71 sen per kilowatt hour (kWh) atau jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pokok pembangkitan PLN di 2020 sebesar US$ 7,05 sen/kWh. Begitupun jika dibandingkan dengan tarif terbaru proyek pembangkit listrik tenaga surya dan bayu yang berkisar antara US$5,5 sampai US$5,8 sen/kWh.
Maka dari itu, ia mengatakan, rencana pemerintah yang merencanakan pembangunan PLTU baru dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dapat berpotensi menghambat pencapaian target skenario rendah emisi dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Upaya tersebut juga dapat meningkatkan biaya listrik.
Sebagaimana diketahui, rencana tersebut mencakup penambahan 26,8 Gigawatt (GW) PLTU baru selama tujuh tahun ke depan. Lebih dari 20 GW di antaranya berasal dari ekspansi PLTU captive.
Dody mengatakan, hal tersebut berisiko membuat Indonesia terjebak pada pembangkit listrik mahal dan beremisi tinggi, yang semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan energi terbarukan.
"Memproduksi material untuk teknologi hijau dengan sumber energi yang beremisi tinggi merupakan pilihan yang kurang tepat. Indonesia seharusnya mulai mengurangi emisi industri smelternya dengan energi terbarukan, untuk meningkatkan aspek keberlanjutan dan daya saing produknya,” ujaranya.
Maka dari itu, evaluasi ulang rencana ekspansi PLTU captive perlu dilakukan, serta juga penegakan peraturan emisi dan percepatan energi terbarukan, untuk membantu Indonesia agar tetap berada di jalur yang tepat.
“Sesuai komitmen iklimnya, mengurangi biaya energi jangka panjang, menarik investasi energi bersih, dan meningkatkan keberlanjutan produk hilirisasi,” ungkapnya.