Prabowo Ungkap Sederet Kelebihan Nuklir, Singgung Kebijakan Sukarno

Ringkasan
- Presiden Prabowo Subianto menilai nuklir sebagai energi terbarukan yang bersih dan bermanfaat bagi berbagai sektor, seperti kesehatan, pertanian, dan sumber energi. Prabowo mengapresiasi visi Presiden Sukarno yang telah memikirkan teknologi nuklir sejak dini.
- Indonesia pernah mengoperasikan reaktor nuklir Triga-Mark II di Bandung untuk keperluan riset atas prakarsa Presiden Sukarno dan kerjasama dengan Amerika Serikat. Reaktor ini ditujukan untuk tujuan damai dan kemajuan teknologi Indonesia.
- Reaktor Triga-Mark II, yang awalnya berkapasitas 250 kilowatt, telah mengalami peningkatan kapasitas hingga 2 Mega Watt dan berganti nama menjadi Reaktor TRIGA 2000 Bandung. Reaktor ini digunakan untuk pendidikan, riset, dan produksi isotop.

Presiden Prabowo Subianto menganggap nuklir sebagai salah satu energi terbarukan yang paling bersih. Dia menepis anggapan nuklir yang cenderung hanya identik dengan senjata, sekaligus menguraikan sejumlah manfaat nuklir di beragam sektor.
Prabowo berpendapat bahwa nuklir dapat dimanfaatkan untuk sektor kesehatan, pengembangan benih untuk pertanian hingga sumber energi.
"Ternyata energi terbarukan paling bersih di antaranya adalah nuklir," kata Prabowo saat menyampaikan sambutan Penutupan Kongres VI Partai Demokrat di Hotel The Ritz-Carlton Jakarta pada Selasa (25/2) malam.
Penilaian Prabowo terhadap teknologi nuklir berangkat dari apresiasi terhadap Presiden Sukarno. Prabowo menyoroti visi proklamator yang sudah berpikir jauh ke depan tentang teknologi nuklir, bahkan ketika rakyat masih menghadapi kesulitan ekonomi saat itu.
"Visinya jelas, bahkan beliau membentuk Badan Tenaga Atom sewaktu rakyat masih lapar beliau berpikir nuklir," ujar Prabowo.
Pada kesempatan tersebut, Prabowo turut menguraikan potensi sumber daya energi alternatif lainnya seperti panas bumi dan air.
Indonesia sejatinya pernah mengoperasikan reaktor nuklir pertama kali pada 20 Februari 1965. Proyek reaktor nuklir bernama Triga-Mark II itu ditujukan untuk keperluan riset dan dibangun di Bandung pada 9 April 1961 sesuai dengan persetujuan yang ditandatangani pada 21 September 1960 di Washington D.C.
Kerja sama bilateral antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia tersebut merupakan kolaborasi pemakaian teknologi nuklir untuk maksud-maksud damai.
Melansir buku bertajuk Nuklir Sukarno Kajian Awal atas Politik tenaga Atom Indonesia 1858-1967 (2021) yang ditulis oleh Teuku Reza Fadeli, pengerjaan reaktor nuklir ini diketuai oleh Djali Ahimsa sebagai Kepala Lembaga Tenaga Atom (LTA).
Melalui amanat Presiden Sukarno, Djali memimpin proyek pengerjaan sekaligus menyerahkannya kepada Institut Teknologi Bandung. Adapun LTA merupakan cikal bakal dari Badan Tenaga Atom Nasional atau BATAN.
Dengan adanya pembangunan reaktor Triga-Mark II, Sukarno berharap Indonesia memiliki kemajuan teknologi nuklir tanpa adanya niat untuk mengusik perdamaian dunia.
Reaktor Triga-Mark II memiliki kapasitas 250 kilowatt (KW). Triga-Mark II dibangun dengan dana bantuan Pemerintah AS sebesar US$ 350.000. Triga merupakan akronim dari Training, Research, and Isotop production by General Atomic. Mark II merujuk pada nama reaktornya, sedangkan General Atomic adalah pabrikan yang bermarkas di AS.
Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), rezim pemerintahan Soeharto meningkatkan daya reaktor Triga-Mark II menjadi menjadi 1000 kW atau setara dengan 1 Mega Watt (MW) pada 4 Desember 1971. Peningkatan daya reaktor itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan radioisotop yang semakin meningkat.
Kapasitas daya reaktor Triga-Mark II kembali ditingkatkan menjadi 2 MW yang diresmikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sekaligus mengubah nama Reaktor Triga-Mark II menjadi Reaktor TRIGA 2000 Bandung.
Triga-Mark II merupakan reaktor tipe kolam yang bisa dipasang tanpa gedung, dan didesain untuk digunakan institusi ilmiah dan universitas untuk keperluan pendidikan tinggi, riset swasta pribadi, dan produksi isotop.