Harga Minyak Dunia Anjlok ke Level Terendah, Momentum RI Genjot Transisi Energi


Harga minyak dunia anjlok di tengah perang dagang yang dipicu kebijakan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Anjloknya harga minyak tersebut merupakan momentum bagi Indonesia untuk menggenjot transisi energi dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabil.
Sebagaimana diketahui, harga minyak mentah Brent tercatat menjadi $64,87 per barel, sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate AS menjadi $61,37, pada Selasa (8/4). Harga ini mendekati level terendah dalam empat tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan tingginya volatilitas komoditas bahan bakar fosil seperti minyak mentah dan batu bara berpotensi membuat perekonomian Indonesia menjadi tidak sehat. Untuk itu, pemerintah harus memaksimalkan potensi pemanfaatan energi hijau yang melimpah di Indonesia untuk mendorong terciptanya perekonomian berkelanjutan, stabil, dan mampu beradaptasi dengan guncangan dari luar.
“Transisi energi akan membuat ekonomi lebih stabil dan akan membuka lebih banyak lapangan kerja baru, sehingga bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi,” ujar Bhima saat dikonfirmasi Katadata, Selasa (8/4).
Bhima mengatakan, struktur Indonesia akan rapuh jika pemerintah masih terus bergantung dengan volatilitas harga komoditas. Ketergantungan kepada bahan bakar fosil juga membuat cita-cita untuk mencapai transisi energi akan sulit tercapai.
Harga Minyak Berpotensi Anjlok hingga US$ 50 per Barel
Harga minyak anjlok dipicu meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang menyebabkan kekhawatiran akan resesi dan akan mengurangi permintaan minyak mentah.
"Pendorong utama penurunan ini adalah kekhawatiran bahwa tarif akan melemahkan ekonomi global," kata Satoru Yoshida, analis komoditas di Rakuten Securities.
"Selain itu, peningkatan produksi yang direncanakan oleh OPEC+ juga berkontribusi terhadap tekanan jual," katanya, seraya menambahkan bahwa tarif balasan dari negara-negara di luar Tiongkok akan menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan.
Yoshida memperkirakan bahwa WTI dapat turun hingga $55 atau bahkan $50 jika penurunan pasar saham terus berlanjut.