Transisi Energi Indonesia Dinilai Lamban, Kapasitas PLTU Terus Bertambah


Transisi energi di Indonesia dinilai lamban oleh Lembaga Thinktank Internasional Climate Analytics. Salah satu buktinya, kapasitas PLTU atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap terus bertambah.
Berdasarkan laporan terbaru Climate Analytics berjudul ‘The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia’, kapasitas PLTU di Indonesia terus bertambah, meski pemerintah sudah menyepakati komitmen untuk beralih dari batu bara ke energi terbarukan.
Salah satu penulis laporan, Nandini Das mengatakan komitmen-komitmen transisi energi internasional yang telah diumumkan tidak sepenuhnya tecermin dalam kebijakan negara-negara yang telah menandatanganinya, termasuk di Indonesia.
Kondisi tersebut akan menimbulkan kesenjangan upaya untuk merealisasikan komitmen tersebut.
“Salah satu masalah yang kami temukan dari komitmen internasional ini adalah sifatnya yang sukarela dan tidak mengikat, sehingga akhirnya membatasi dampak. Pemerintah negara-negara dapat membuat pernyataan keras bahwa telah menandatangani komitmen tersebut dalam COP tanpa harus melakukan tindakan konkret,” ujar Nandini dalam keterangan pers, Selasa (15/4).
Nandini mencontohkan Indonesia telah berkomitmen mengurangi kapasitas batu bara dengan menandatangani The Global Coal to Clean Power Transition Statement pada Konferensi Perubahan Iklim PBB Ke-26 atau COP26.
Selain itu, Indonesia menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2056 dalam peta jalan netral karbon yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 Brasil 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan penghentian seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil sebelum 2040. Akan tetapi, Indonesia belum mengumumkan kerangka kebijakan yang didukung rencana aksi untuk mencapai target.
Laporan Climate Analytics menemukan kapasitas PLTU batu bara Indonesia justru terus meningkat menjadi 45% dari total pembangkitan listrik saat ini. PLTU dengan total kapasitas 1 gigawatt atau GW bahkan telah mendapat perizinan atau mulai konstruksi sejak semester kedua 2023.
"Bahkan, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional alias RUKN 2024-2060 masih memproyeksikan tambahan PLTU hingga 76,5 GW, naik 26,8 GW dari 2024," ujar dia.
Penulis utama laporan, Thomas Houlie mengatakan peralihan ke energi terbarukan di Indonesia belum menunjukan kemajuan signifikan. Proyek dan investasi baru energi terbarukan, terutama energi surya dan angin, masih cukup kecil dibandingkan dengan potensinya.
Investasi proyek energi terbarukan di Indonesia US$ 400 pada 2023, lebih rendah dari Thailand. Menurut Thomas, kondisi ini disebabkan oleh kebijakan energi terbarukan yang cukup rumit.
Padahal Indonesia telah menyepakati Global Methane Pledge pada COP26. Indonesia berkomitmen memangkas emisi metana hingga 30% di bawah ambang batas 2022 pada 2030.
"Emisi metana Indonesia justru naik 7% pada 2022-2023. Pemerintah Indonesia belum merencanakan langkah apapun untuk memangkas emisi metana di berbagai sektor ekonomi," ujar Thomas.
Thomas menjelaskan, minimnya dampak komitmen-komitmen transisi energi internasional juga terlihat di tujuh negara lain yang menjadi objek penelitian laporan Climate Analytic.
Dua di antaranya Filipina dan Vietnam yang masih terus menambah kapasitas batu bara, meski telah berkomitmen mengurangi. Sementara itu, Korea Selatan dan Jepang masih sangat bergantung pada impor batu bara.
"Singapura, Filipina, dan Vietnam masih terus melakukan ekspansi proyek impor gas alam cair," ujar dia.
Dia menjelaskan, meski komitmen-komitmen internasional menjadi landasan bagi kemajuan, berbagai hal di dalamnya tidak sepenuhnya tercantum dalam dokumen NDC alias Nationally Determined Contribution dan kebijakan negara-negara yang menyepakatinya.
"NDC yang disusun tahun ini menjadi peluang bagi pemerintah untuk menunjukkan apakah komitmen yang bersifat sukarela ini akan mendorong ambisi dan aksi negara, atau hanya sekadar jargon politik dan diplomatic,” katanya.