Indonesia Harus Pensiunkan 72 PLTU untuk Mitigasi Krisis Iklim


Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan Indonesia setidaknya harus pensiunkan 72 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan total kapasitas 43,4 GW pada periode 2022–2045. Hal itu dilakukan untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C
Pada periode 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional terhadap 18 PLTU berkapasitas total 9,2 GW, yang terdiri dari 8 PLTU milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU milik pembangkit swasta (4,2 GW).
“Pada periode 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional terhadap 18 PLTU berkapasitas total 9,2 GW, terdiri dari 8 PLTU milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU milik pembangkit swasta (4,2 GW),” ujar kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (23/4).
Kajian IESR ini juga telah mempertimbangkan faktor yang sesuai dengan yang tercantum dalam Permen No. 10/2025 dalam mempercepat pengakhiran operasional batu bara, seperti usia dan kapasitas pembangkit, keekonomian proyek, serta dampak lingkungan, terutama keluaran emisi gas rumah kaca.
Dalam Permen tersebut, pemerintah juga sangat mempertimbangkan ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri dalam mempercepat pengakhiran operasional PLTU batu bara. IESR memperkirakan biaya pensiun dini PLTU mencapai US$ 4,6 miliar hingga 2030 dan US$ 27,5 miliar hingga 2050.
Sekitar dua pertiga atau US$ 18,3 miliar berasal dari PLTU milik swasta, dan sepertiga atau US$ 9,2 miliar berasal dari PLTU milik PLN. Meski biaya awal pensiun PLTU tergolong besar, manfaat jangka panjangnya dari penurunan biaya kesehatan dan subsidi PLTU mencapai US$ 96 miliar pada 2050.
“Dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang tidak efisien, mahal dan menyebabkan polusi udara akut milik PLN bisa berasal dari APBN. Namun dananya yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus dipakai untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik. Ini serupa dengan memindahkan dana dari kantong kiri ke kanan,” kata Fabby.
Fabby mengatakan pengoperasian PLTU secara fleksibel dapat dilakukan untuk mendukung integrasi energi terbarukan, khususnya surya dan angin. Pendekatan ini akan mengubah sistem operasi tenaga listrik, di mana PLTU akan beroperasi mengikuti pola pembangkit intermiten, dalam batas teknis yang aman bagi sistem. Dengan cara ini, penetrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan dapat meningkat secara signifikan.