Ramai Proyek PLTP Ditolak Masyarakat Lokal, Apa Penyebabnya?

Image title
30 April 2025, 12:43
Pekerja beraktivitas di areal instalasi sumur geothermal atau panas bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Dusun Bitingan, Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (28/10/2024).
ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.
Pekerja beraktivitas di areal instalasi sumur geothermal atau panas bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Dusun Bitingan, Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (28/10/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

 Upaya pemerintah mendorong transisi energi di Indonesia belum sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat. Terlihat dari semakin seringnya konflik yang terjadi, baik antara pemerintah dengan masyarakat maupun antar masyarakat, ketika terjadi pengembangan proyek energi terbarukan di daerah.

 Konflik tersebut terjadi akibat wacana proyek energi baru terbarukan yang tidak melibatkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak merasa memiliki manfaat dari proyek tersebut dan hanya menerima kerugian dari kerusakan alam yang ditimbulkan.

 Proyek panas bumi di Gunung Tampomas, Sumedang, Jawa Barat menjadi contoh konflik sosial dalam transisi energi yang diangkat melalui film berjudul “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor”. Film tersebut menggambarkan penetapan Gunung Tampomas sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar.

 “Pemerintah menyebutnya energi bersih, tapi bagi masyarakat di kaki gunung yang kehilangan sumber air, sawah, dan hutan adatnya, ini tetap bentuk perampasan ruang hidup,” kata Eme, warga Desa Cilangkap, Buahdua, Sumedang, dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (30/4).

 Selain di Sumedang, penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) juga ditolak di Toraja, Sulawesi Selatan. Penolakan tersebut terjadi karena proyek di wilayah tersebut menyebabkan krisis air, pencemaran lingkungan, hingga risiko kesehatan serius akibat kebocoran gas hidrogen sulfida.

Salah seorang warga Toraja, Chelsea, mengatakan telah terjadi beberapa kasus keracunan dan kematian akibat paparan hidrogen sulfida, yang menunjukkan bahwa energi ini tidak aman seperti yang diklaim.

“Masyarakat tiba-tiba kaget karena ada sekelompok orang datang dan melakukan eksplorasi di kampung kami tanpa ada informasi maupun partisipasi yang melibatkan unsur masyarakat. Justru yang diajak hanya pemerintah setempat,” ujar Chelsea.

Policy Strategist Yayasan Indonesia CERAH, Al Ayubi, mengatakan proyek transisi energi yang dijalankan oleh pemerintah harus memenuhi tiga aspek, yakni bersih, adil, dan inklusif. Tanpa disertai dengan konsep keadilan sosial, transisi energi hanya akan menjadi alat baru bagi ketimpangan sosial.

“Tak hanya itu, konflik yang terus terjadi lantaran tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan, justru akan menghambat konstruksi proyek, baik dari aspek waktu maupun biaya, bahkan membuat proyek batal dilaksanakan. Hal ini, lagi-lagi justru akan membuat transisi energi Indonesia jalan di tempat,” ujar Ayubi.

Penolakan masyarakat lokal akan proyek pembangunan enegeri baru terbarukan  menjadi sorotan utama di salah satu sesi forum bertajuk “Polarization and Its Discontents in the Global South: Mitigation Measures, Strategies, and Policies”, yang digelar oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 25-26 April 2025 di Universitas Gajah Mada (UGM). Diskusi ini menghadirkan pakar dari Kolombia, Brasil, Inggris, Malaysia, Indonesia, dan Afrika Selatan, serta membahas akar dan dampak perpecahan di masyarakat, serta pihak yang diuntungkan dari polarisasi yang terjadi. 

Anggota Majelis Konsorsium ICRS, Samsul Maarif, mengatakan wacana elit dari kebijakan transisi energi lebih fokus pada pemenuhan listrik, serta transisi dari energi kotor ke energi terbarukan. Sementara bagi masyarakat lokal yang berpotensi terdampak, energi mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan, seperti kebutuhan pertanian, air, udara bersih, hingga harmoni sosial.

"Pendekatan holistik utamanya pelibatan dan perlakuan masyarakat terhadap subjek transisi energi, adalah syarat mutlak jika gagasan transisi energi adalah untuk keadilan," ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...