Negara Berkembang di Asia Hadapi Dilema Transisi Energi
Pasar negara berkembang di Asia dinilai menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan negara maju dalam melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon secara adil dan inklusif.
Laporan terbaru Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC) menyebut negara berkembang di Asia harus memperluas akses listrik sekaligus menurunkan emisi karbon dan meningkatkan sistem energi. Kompleksitas ini diperparah dengan waktu persiapan kelembagaan yang panjang, sehingga investor dan pembuat kebijakan diminta memperhitungkan risiko transisi sosial dalam kerangka investasi mereka.
CEO AIGCC, Rebecca Mikula-Wright, mengatakan perencanaan transisi berkeadilan harus dimulai sedini mungkin. Jika sebelumnya fokus pada hilangnya pekerjaan di industri bahan bakar fosil, kini mencakup sektor-sektor yang juga sedang berkembang. Isu ini meliputi realitas sosial, ekonomi, dan lingkungan dari setiap wilayah, termasuk pekerjaan informal, pekerjaan layak, kesetaraan upah, konsultasi dan mekanisme persetujuan masyarakat, migrasi dan perpindahan, serta perlindungan sosial.
“Kami mendorong investor di pasar negara berkembang untuk memasukkan perencanaan transisi berkeadilan dalam kerangka investasi berkelanjutan mereka. Hal ini harus dimulai jauh sebelum sebuah kawasan mencapai puncak emisi,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Kamis (2/10).
Penelitian ini menyoroti kondisi di empat pasar utama Asia, Jepang, India, Indonesia, dan Malaysia. India dan Indonesia, misalnya, mulai mengintegrasikan aspek sosial dalam adaptasi iklim, seperti perlindungan kelompok rentan. Namun, mekanisme pendanaan dan koordinasi formal untuk menghubungkan adaptasi dengan tujuan ketenagakerjaan dan kesetaraan masih terbatas.
Mikula-Wright menegaskan investor institusional memiliki peran penting dalam mempercepat transisi ini. Menurutnya, pembuat kebijakan memang menunjukkan kemajuan, tetapi modal katalis dari investor sangat diperlukan agar transisi berkeadilan bisa berjalan efektif.
“Kebijakan yang lebih jelas dan terkoordinasi juga akan membantu mendorong arus modal,” katanya.
Selain itu, laporan AIGCC menemukan adanya ketidakcocokan geografis antara keterampilan pekerja dengan kebutuhan pekerjaan hijau, serta kualitas upah yang rendah sehingga menghambat minat. Sejauh ini, strategi pasar masih menekankan pada jumlah lapangan kerja hijau, bukan kualitasnya.
