Manajemen Kemitraan Publik-Swasta Tak Matang, Dana Transisi Energi Terhambat
Dekan Asian Development Bank Institute, Bambang Brodjonegoro, menilai aliran investasi untuk transisi energi bukan terkendala oleh sepinya investor. Persoalannya ada pada manajemen public-private partnership yang tak matang.
Hal tersebut dapat menghambat skema pembiayaan campuran atau blended finance untuk kebutuhan transisi energi. Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan hanya bisa mengampu 13% dari total kebutuhan biaya transisi energi senilai Rp 4.000 triliun.
“Banyak sekali sebenarnya investor ingin masuk ke Indonesia untuk proyek infrastruktur termasuk transisi energi, tapi daftar proyeknya yang membuat gak menarik,” kata Bambang, dalam diskusi Indonesia Energy Transition Dialogue 2025 di Jakarta, Selasa (7/10).
Menurutnya, proyek-proyek yang ditawarkan untuk investasi, perlu disusun berdasarkan potensi. “Keluarkan proyek-proyek yang bisa dibiayai APBN,” katanya. Dalam skema ini, pemerintah hanya berperan sebagai regulator.
Untuk proyek yang masih memiliki potensi investasi dari swasta meskipun memiliki risiko bisa menggunakan skema blended finance atau pembiayaan campuran dari sektor publik dan swasta. Blended finance dapat berkontribusi menutupi risiko atau celah antara ekspektasi investor dengan return on investment (ROI).
“Blended finance dalam skema transisi energi digunakan untuk mencapai cost of fund paling rendah. Ini bisa dicapai kalau ada upaya mengurangi risiko atau ada pihak yang memberikan garansi,” jelas Bambang.
Dalam hal ini, pembangkit listrik dari energi terbarukan misalnya, memiliki PLN sebagai pihak yang akan membeli listrik yang dihasilkannya.
Bambang menyatakan, pada skema terakhir, proyek yang kemungkinannya kecil mendapat investasi swasta bisa dipenuhi dengan pendanaan APBN.
Blended Finance Harus Jadi Arus Utama dalam Pembiayaan Pembangunan
Bambang menambahkan, skema blended finance ini perlu diarusutamakan dalam pembiayaan pembangunan. Dengan demikian, proyek pembangunan maupun transisi energi tidak melulu menunggu dana dari APBN.
“Kalau blended finance tidak dianggap sebagai pembiayaan pembangunan di Indonesia, maka secara legal juga lemah dan tidak memberi kepastian pada investor,” tambahnya.
Terakhir, untuk menjalankan skema ini, Bambang mengatakan, perlu orkestrasi dan pemimpin yang kuat.
