Belajar dari Madhya Pradesh: Menyalakan Asa Energi Murah dan Ramah Lingkungan
Saat matahari meninggi di atas perbukitan di negara bagian Madhya Pradesh, India Tengah, deretan panel surya berkilau seperti lautan kaca yang memantulkan cahaya pagi. Dari kejauhan, hamparan itu bukan sekadar instalasi teknologi, tetapi simbol perubahan besar menuju masa depan energi bersih di India.
Madhya Pradesh baru saja mencetak sejarah dengan meraih tarif listrik tenaga surya plus sistem penyimpanan energi (battery storage) terendah di India. Dalam lelang proyek energi bersih yang digelar pada September 2025 lalu, dua perusahaan, CEIGALL India dan ACME Solar memenangkan tender dengan penawaran kecil.
Masing-masing perusahaan menawarkan 2,70 rupee per kWh dan 2,764 rupee per kWh, atau sekitar US$ 3 sen per kilowatt-hour atau setara Rp 500. Capaian itu menjadi tolok ukur baru bagi proyek energi terbarukan, tidak hanya di India, tetapi juga di kawasan Asia yang masih sangat bergantung pada batu bara.
Pejabat senior Departemen Listrik dan Energi Terbarukan Madhya Pradesh Manu Srivastava mengatakan hasil lelang tersebut menunjukkan bahwa energi surya dengan sistem penyimpanan baterai kini bisa lebih murah dibandingkan listrik berbasis batu bara.
“Harga ini menjadi bukti bahwa teknologi penyimpanan energi semakin kompetitif dan efisien,” ujar Manu seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (8/11).
Proyek di Madhya Pradesh terdiri atas dua unit, masing-masing berkapasitas 220 megawatt (MW). Proyek ini menggunakan mekanisme penyimpanan energi yang memungkinkan pasokan listrik berkelanjutan selama 24 jam.
Pada siang hari, energi diperoleh dari panel surya, sementara malam hari pasokan disediakan dari baterai berkapasitas besar yang diisi menggunakan tenaga surya. Sistem ini juga memungkinkan baterai diisi ulang pada malam hari dengan memanfaatkan listrik jaringan berbiaya rendah.
Pemanfaatan energi surya di Madhya Pradesh disebut sebagai penanda penting transisi energi India, karena menegaskan bahwa proyek energi terbarukan dengan penyimpanan kini bisa ditawarkan dengan harga yang lebih rendah dari PLTU batu bara konvensional. Keberhasilan ini juga sejalan dengan target nasional India untuk mencapai 500 gigawatt kapasitas energi non-fosil pada tahun 2030.
“Negara bagian ini merencanakan proyek penyimpanan jangka panjang dan pada akhirnya bertujuan untuk menawarkan energi terbarukan 24 jam dengan harga yang sebanding dengan energi batubara,” ujar pejabat pemerintah setempat.
Lompatan penggunaan energi terbarukan dari tenaga matahari di Madhya Pradesh tidak datang seketika. Merujuk laman Institute for Esential Services Reform (IESR) upaya ke arah energi bersih sudah dimulai sejak satu dekade lalu.
Tender untuk mendapatkan energi bersih dan murah konsisten dilakukan pemerintah setempat setiap tahun sehingga selalu ada inovasi. Sejak 2018 pemerintah negara bagian aktif membuat program listrik surya atap untuk rumah tangga dengan tujuan meningkatkan permintaan sehingga dapat menurunkan biaya modal.
Konsistensi Kembangkan Energi Terbarukan
Capaian Madhya Pradesh memperlihatkan bagaimana konsistensi kebijakan, insentif investasi, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dapat menurunkan biaya listrik terbarukan secara signifikan. India tidak hanya menargetkan kapasitas besar, tetapi juga menata mekanisme pasar yang memberi kepastian bagi investor dan pengguna.
Laporan lembaga riset energi Ember (2025) mencatat bahwa India dan Tiongkok kini menjadi motor utama pertumbuhan energi terbarukan dunia. Kedua negara itu mampu memenuhi peningkatan permintaan listrik nasionalnya lewat sumber bersih dan untuk pertama kalinya, produksi listrik dari tenaga surya dan angin melampaui pembangkit berbahan bakar fosil pada paruh pertama 2025.
Analis senior Iklim dan Energi untuk Indonesia di Ember, Dody Setiawan, menyatakan pencapaian India dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia. Ia mengatakan hal terpenting dari transisi energi adalah komitmen dari para pemangku kebijakan.
Menurut Dody meskipun kedua negara masuk daftar konsumen batu bara terbesar di dunia praktik peralihan penggunaan energi menuju energi bersih yang dilakukan kedua negara patut menjadi contoh negara lain termasuk Indonesia.
“Ini menunjukkan bahwa peralihan ke energi bersih bukan hanya soal target, tapi soal membangun ekosistem mulai dari industri, kebijakan, hingga pembiayaan,” kata Dody, dalam CERAH Expert Panel di Jakarta, Jumat (17/10) lalu.
Sementara itu, Research & Engagement Lead Indonesia Energy Transition IEEFA, Mutya Yustika, menilai bahwa kunci keberhasilan India adalah terbentuknya ekosistem energi surya yang matang, mulai dari rantai pasok modul dan baterai hingga kemudahan investasi. Di Indonesia, ekosistem ini masih terbatas sehingga biaya teknologi surya masih lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Menurut Mutya sudah banyak negara yang beralih ke energi terbarukan karena levelized cost of electricity (LCOE) yang terus menurun. Akan tetapi, tenaga surya dan angin memiliki sifat tertentu yang membuatnya tidak bisa bertahan 24 jam.
Atas alasan itu Mutya mengatakan dibutuhkan baterai untuk mendukungnya. Terobosan inilah yang kini telah dilakukan di Madhya Pradesh dengan harga baterai yang semakin menurun.
Dirinya menambahkan, untuk mencapai target bauran energi terbarukan 100% pada 2035, Indonesia perlu lebih banyak memanfaatkan energi surya. Proses persiapannya, termasuk dari segi infrastruktur, lebih sederhana dibandingkan pembangkit energi terbarukan lainnya seperti nuklir.
Meskipun begitu, ekosistem pemanfaatan energi surya, terutama untuk baterai, belum terbentuk di Indonesia. Dampaknya, pemanfaatan energi ini justru terasa mahal. Hal ini yang membedakannya dengan negara lain.
“Ekosistem kita belum terbentuk, sementara di luar negeri sudah. Supply chain, demand, ketika ada permintaan dan persediaan yang banyak, harganya semakin murah,” jelas Mutya.
Untuk mendukung pembangunan ekosistem ini, Mutya menilai perlu menurunkan Tingkat Komponen Dalam Negeri. Upaya lainnya, pemerintah perlu menyederhanakan proses pengadaan pembangkit listrik energi terbarukan, agar biayanya terpangkas.
