Aksi Besar Warnai Belem, Rakyat Brasil Desak Solusi Iklim di Tengah COP30

Ferrika Lukmana Sari
15 November 2025, 19:04
COP30
COP30 Brasil Amazonia/Aline Massuca
Masyarakat adat berpartisipasi di pembukaan paviliun yang ada di Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 di Kota Belem, Brasil pada 11 November 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Ribuan orang diperkirakan turun ke jalan di Kota Belem pada Sabtu (15/11) untuk menuntut “solusi nyata” atas pemanasan global yang disebabkan aktivitas manusia. Aksi ini digelar saat kota tersebut menjadi tuan rumah Konferensi Iklim PBB (COP30) dan berada di titik tengah negosiasi yang berlangsung sengit.

Dijuluki “Great People’s March”, aksi ini berlangsung setelah dua protes masyarakat adat di awal pekan yang sempat mengganggu jalannya konferensi.

Peserta aksi terdiri dari masyarakat adat, nelayan, kelompok muda, hingga pekerja. Mereka berkumpul di pasar lokal pada pukul 07.30 waktu setempat dan berjalan sekitar 4,5 kilometer, berhenti beberapa blok sebelum kompleks COP30.

“Kami menuntut reparasi atas kerusakan yang ditimbulkan korporasi dan pemerintah, terutama terhadap komunitas yang terpinggirkan,” kata anggota tim koordinasi aksi dari Movement of People Affected by Dams Iury Paulino dikutip dari Bangkok Post, Sabtu (15/11).

Ia menegaskan bahwa secara historis, rakyat yang membangun solusi nyata. Gerakan ini bertujuan mengecam krisis iklim sekaligus menyampaikan proposal kami kepada dunia.

Meski rute aksi tak melewati area konferensi, aparat keamanan tetap siaga tinggi. Pada Selasa, sekelompok demonstran adat memaksa masuk ke area Parque da Cidade, lokasi COP30 yang dibangun di bekas bandara hingga sempat terlibat bentrok dengan petugas keamanan.

Sejumlah petugas mengalami luka ringan. Kemudian pada Jumat, puluhan demonstran adat memblokade pintu masuk selama dua jam untuk menyoroti perjuangan mereka di Amazon.

Negosiasi COP30 di Titik Kritis

Di dalam lokasi konferensi, pembahasan berjalan hati-hati. Menjelang akhir pekan pertama, presidensi COP30 yang dipegang Brasil dijadwalkan memaparkan strategi untuk menjembatani berbagai tuntutan negara peserta.

Isu utama mencakup lemahnya target iklim, pendanaan dari negara kaya ke negara berkembang untuk meningkatkan ketahanan iklim, serta transisi menuju ekonomi rendah emisi.

Perdebatan juga mengemuka mengenai trade barriers seperti pajak karbon perbatasan Uni Eropa, hingga apakah COP perlu menetapkan target dan tenggat waktu transisi keluar dari energi fosil.

Sejumlah pihak menilai negosiasi masih tertahan sambil menunggu kedatangan para menteri pekan depan yang harus merampungkan kesepakatan sebelum konferensi ditutup pada 21 November.

“Kalau presidensi tidak mengambil alih kepemimpinan, COP ini bisa berakhir kosong,” ujar seorang negosiator dari Afrika yang menyampaikan kekhawatirannya.

Namun pandangan optimistis juga muncul. “Para pihak datang ke sini untuk menghasilkan hasil positif dari COP ini,” kata Sekjen Kementerian Jerman Jochen Flasbarth.

Seorang diplomat Barat menambahkan, presidensi Brasil mendorong negara-negara memperlakukan konsultasi mereka sebagai sesi terapi atau ruang aman untuk menyampaikan kekhawatiran.

Delegasi juga diminta mengirimkan masukan tertutup mengenai perkembangan pembahasan, yang oleh Brasil disebut “love letters”. “Negosiasi ini seperti roller coaster, kadang naik, kadang turun,” ujar Kepala Negosiator Brasil, Liliam Chagas.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...