IESR: Indonesia Harus Fokus pada Lima Prioritas Transisi Energi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan dekarbonisasi bukan lagi persoalan biaya, melainkan jalan bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Untuk mempercepat transisi energi, Indonesia perlu fokus pada lima prioritas.
"Untuk mempercepat transisi energi, diperlukan kedisiplinan dan fokus. Ada lima prioritas yang perlu kita laksanakan dalam waktu dekat," kata Fabby dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO), Kamis (20/11).
Pertama, menyelaraskan seluruh kebijakan di kementerian terkait. Menurutnya, kebijakan industri, fiskal, perdagangan, dan ekonomi harus bergerak dalam satu peta jalan yang tidak dinegosiasikan, dengan tujuan tunggal mendukung transisi energi.
Prioritas kedua adalah penghentian subsidi energi fosil dan reformasi tarif listrik. Fabby menyebut tarif listrik di sejumlah segmen tidak naik selama bertahun-tahun, sehingga perlu penyesuaian untuk menjaga kesehatan keuangan PLN.
Reformasi Tarif Listrik
Dana triliunan rupiah dari pengurangan subsidi fosil perlu dialihkan untuk memperluas pendanaan energi terbarukan, memperbaiki akses energi di daerah tertinggal, serta mempertahankan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam bentuk yang lebih tepat sasaran seperti conditional cash transfer.
"Kita perlu mereformasi tarif listrik. Kita harus secara strategis merealokasikan triliunan rupiah dari pengurangan subsidi tersebut untuk memobilisasi dan meningkatkan pendanaan untuk energi terbarukan," ujarnya.
Prioritas ketiga, pembangunan rantai pasok teknologi energi terbarukan di dalam negeri. Fabby menilai Indonesia harus memperkuat kapasitas produksi komponen surya, baterai, dan kendaraan listrik dengan memanfaatkan kekayaan mineral sebagai fondasi industri masa depan.
"Kita harus mendorong alih teknologi melalui investasi teknologi hijau dan dengan konsekuensi kita harus menciptakan permintaan di dalam negeri melalui target dan didukung oleh kebijakan-kebijakan yang selaras dengan itu," sarannya.
Keempat, memastikan program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berjalan. Fabby menjelaskan pensiun PLTU tidak hanya terkait pengurangan emisi, tetapi juga penghematan biaya kesehatan akibat polusi udara dan peluang menurunkan tarif listrik.
Ia menyebut berbagai kajian menunjukkan harga listrik dari PLTS dan sistem penyimpanan energi lebih murah daripada PLTU baru. Menurutnya, penghentian dini PLTU dapat dinegosiasikan dengan skema kompensasi melalui dukungan keuangan internasional, seperti energy transition mechanism (ETM) atau transition credit.
Prioritas kelima adalah memastikan transisi energi yang berkeadilan. Indonesia, kata Fabby, perlu mempersiapkan lapangan kerja hijau dan kompetensi tenaga kerja agar siap mengisi kebutuhan industri di era transisi energi.
"Kita harus memastikan transisi energi berkeadilan, menyiapkan lapangan kerja dan kompetensi tenaga kerja hijau yang diperlukan untuk mengisi era transisi energi ini," ujarnya.
