Bisnis Hijau jadi Alasan Honda Meninggalkan Formula 1
Honda akan mengakhiri partisipasinya dalam Kejuaraan Dunia Formula Satu FIA pada akhir musim 2021. Perusahaan otomotif asal Jepang itu akan fokus pada teknologi kendaraan tanpa emisi.
Keputusan itu dibuat pada akhir September lalu. “Ini bukan akibat pandemi Covid-19 tapi untuk tujuan bebas emisi karbon jangka panjang kami,” kata Kepala Eksekutif Honda Takahiro Hachigo dalam konferensi pers, dikutip dari Reuters, Jumat (2/10).
Pabrikan mobil dunia sedang berlomba-lomba menuju bisnis hijau, yaitu menciptakan kendaraan ramah lingkungan. Hachigo menggambarkannya sebagai perubahan industri yang terjadi sekali dalam satu abad. Perlombaannya berlangsung semakin cepat di tengah pandemi corona.
Honda sebenarnya baru kembali ke F1 pada 2015 untuk memasok mesin ke tim Red Bull Racing. Namun, perusahaan kini ingin mengalihkan sumber dayanya untuk mempercepat pengembangan teknologi bahan bakar sel atau baterai. “Kami memahami dan menghormati alasan di balik keputusan Honda,” kata Kepala Tim Red Bull Christian Horner dalam pernyataan tertulisnya.
Bulan ini perusahaan berencana meluncurkan mobil bertenaga baterai. Peluncurannya sejalan dengan target Honda memproduksi kendaraan bertenaga energi baru pada 2030.
Kompetitornya, Toyota Motor Corp, pada pekan lalu mengumumkan target penjualanan tahunan kendaraan listriknya akan mencapai 5,5 juta unit pada 2025. Target ini lebih awal lima tahun dari rencana semula.
Komitmen F1 Terhadap Isu Perubahan Iklim
Keputusan Honda meninggalkan F1 menimbulkan pertanyaan lebih besar tentang keterlibatan pabrikan mobil besar dalam perlombaan bergengsi tersebut. Ferrari, Mercedes, dan Renault, melansir dari ESPN, bahkan berkomitmen pada olahraga ini hingga 2025 di bawah Perjanjian Concorde.
Berbeda dengan pabrikan lain yang memakai F1 sebagai pemasaran, Honda selalu mendekati olahraga ini sebagai platform riset dan pengembangan (R&D). Perusahaan mengklaim keterlibatan dalam perlombaan itu telah membantu pengembangan teknologi hibrida dan baterai dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, dengan target bebas emisi pada 2050, Honda melihat sumber dayanya lebih tepat didedikasikan untuk kendaraan ramah lingkungan. “Kami harus mempercepat jalur netralitas karbon jadi Honda harus meningkatakn teknologi manajemen energi dan bahan bakar yang telah kami bangun bertahun-tahun,” ucap Hachigo.
Sejak 1970an faktor keselamatan dan kecepatan menjadi fokus utama F1. Dampak perlombaan ini terhadap lingkungan merupakan isu baru. Dalam 10 tahun terakhir kendaraan para peserta mulai masuk ke sistem elektrifikasi dan hybrid. Namun, ESPN menuliskan, F1 tidak banyak melakukan upaya membanggakan dalam pengembangan teknologi mesin hybrid.
Ajang perlombaannya pun dianggap tak ramah lingkungan. Pada 2018, total emisi karbonnya mencapai 356,5 ribu ton, belum termasuk transportasi para penggemar yang datang ke arena balap. Sebanyak 45% dari angka itu berasal dari logistik pengiriman barang ke seluruh dunia, melalui jalan darat, udara, dan laut. Hanya 0,7% berasal dari emisi mobil yang mengikut perlombaan F1.
Hal serupa juga terjadi pada ajang balap mobil listrik Formula E. Alih-alih ramah lingkungan, total emisi karbonnya pun besar. Dari grafik Databoks di bawah ini menunjukkan 75% jejak karbonnya berasal dari pengiriman kargo. Sementara, pertandingannya hanya menyumbang 3% emisi.
Untuk membuktikan dukungannya terhadap program pencegahan perubahan iklim, F1 menerapkan bebas emisi karbon pada 2030. Namun, rencana ini dinilai tidak cukup ambisius mengingat banyak negara memasang target serupa.
F1 semakin bertentangan dengan tujuan jangka panjang industri motor lebih luas dalam menuju elektrifikasi. Teknologi baterai dan kendaraan listrik yang ada sekarang tidak memungkinkan untuk dipakai dalam ajang olahraga tercepat di dunia itu. Mau-tak mau para peserta tetap mengandalkan mobil bertenaga bahan bakar fosil.