IEEFA Sebut Obligasi Hijau PLN Diragukan Investor
PLN harus siap menghadapi kritik tajam dari kalangan investor hijau. Pasalnya, perusahaan masih banyak berinvestasi di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara. Di sisi lain, tahun depan PLN akan menerbitkan obligasi hijau atau green bond.
Rencananya, perusahaan setrum negara itu akan meluncurkan surat utang berwawasan lingkungan pada Januari 2021. Lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energi Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan kinerja PLN bakal tersorot. Hal ini akan berdampak pada prospek obligasi hijaunya.
Karena itu, perusahaan harus membangun kredibilitasnya di mata investor. Apalagi, pengembangan energi baru terbarukannya masih minim. “Pengembangannya jauh tertinggal dari sejawatnya di tingkat regional maupun internasional,” kata peneliti IEEFA Christina Ng dalam keterangan tertulis, Selasa (22/12).
Selama ini, menurut Ng, PLN lebih dikenal sebagai penyumbang emisi karbon karena terus-menerus menambah kapasitas PLTU-nya.“Masih ada sekitar 20 gigawatt (GW) proyek batu bara yang antri dalam pipeline,” ujarnya.
Direksi harus dapat meyakinkan investor. Khususnya bagi mereka yang ragu pada kurangnya transparansi perusahaan dan masih menitikberatkan energi fosil pada pembangkitnya.
Terkait transparansi, Ng mengatakan PLN tidak memiliki pengalaman dalam membuat laporan sesuai dengan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) secara global. Perusahaan perlu membangun rencana yang spesifik dan kredibel, plus komitmen perubahan kebijakan.
Dengan menyusun peta jalan untuk menghentikan investasi di sumber energi fosil, PLN dapat menunjukkan keseriusannya dalam melakukan trasformasi hijau. "Sesuai dengan harapan pemerintah dan para investor,” ujar Ng.
Penerbitan Green Sukuk untuk Kurangi Emisi
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca secara bertahap sesuai Kesepakatan Paris 2015. Pemerintah menargetkan pengurangan emisinya mencapai 29% dengan usaha sendiri dan 41% melalui dukungan internasional pada 2030.
Kepala Perwakilan Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangasa (UNDP) untuk Indonesia Norimasa Shimomura mengatakan kunci untuk memenuhi perjanjian itu adalah memanfaatkan pembiayaan nasional, swasta, dan publik. Hal ini cukup penting mengingat kebutuhan dana Indonesia untuk program perubahan iklim mencapai US$ 247 miliar.
Nilai tersebut sekitar Rp 3.494 triliun, dengan asumsi kurs Rp 14.147 per dolar AS. UNDP telah bekerja sama dengan pemerintah soal ini. Salah satunya dengan mendukung Kementerian Keuangan untuk menerbitkan green sukuk.
Obligasi berbasis syariah tersebut akan dialokasikan untuk mendanai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. “Kami mendukung Indonesia untuk mengembangkan obligasi ini dengan tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Shimomura beberapa waktu lalu.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Luky Alfirman mengatakan inisiatif hijau atau berbasis lingkungan ini cukup penting untuk mendukung komitmen awal dalam memerangi perubahan iklim. Terutama demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari komitmen pemerintah.
Upaya untuk mendanai program tersebut relatif mahal. "Pengeluaran untuk perubahan iklim telah menghabiskan US$ 36 miliar pada periode 2016 dan 2019," kata dia.
Pemerintah telah menerbitkan green sukuk pada November lalu. Surat utang syariah bernama ST007 itu memiliki kupon 5,5% dan akan digunakan untuk pembangunan ramah lingkungan. Penerbitannya menghasilkan dana Rp 2 triliun.