Negara G7 Sepakat Hentikan Pembiayaan Batu Bara pada Akhir 2021
Kelompok tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia atau G7 sepakat untuk menghentikan pendanaan internasional untuk proyek-proyek energi fosil, yakni minyak dan gas bumi (migas), serta batu bara, pada akhir tahun ini demi mengejar target pencegahan perubahan iklim.
Kelompok ini menambah tekanan terhadap dua negara anggotanya, Amerika Serikat (AS) dan Jepang, yang hingga kini masih mengandalkan bahan bakar fosil, terutama batu-bara, sebagai sumber energi pembangkit listriknya. Sementara lima anggota G7 lainnya yakni Inggris, Perancis, Kanada, Jerman, dan Italia, sudah memiliki target.
Pada pertemuan tingkat menteri yang berlangsung selama dua hari secara virtual, delegasi Jepang diwakili Shinjiro Koizumi dan Hiroshi Kajiyama dari Kementerian Lingkungan, sedangkan AS diwakili John Kerry dari Departemen Ekonomi, Perdagangan dan Industri.
"Investasi batu bara harus dihentikan sekarang dan berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah nyata untuk mengakhiri dukungan pemerintah untuk pembangkit listrik tenaga batu bara pada akhir tahun 2021," kata para menteri dalam pernyataan bersama, dikutip dari Nikkei Asia, Senin (24/5).
Meski demikian kelompok ini masih mengizinkan pembiayaan untuk proyek-proyek pengendalian emisi, seperti teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.
Para menteri negara G7 juga menegaskan pentingnya membatasi pemanasan global hingga 1,5° celsius di atas tingkat pra-industri. Kesepakatan iklim Paris 2015 bertujuan untuk menjaga peningkatan suhu global di bawah 2 C, atau sekitar 1,5 C.
Sebagai tuan rumah G-7 tahun ini, Inggris telah mengambil sikap keras terhadap batu bara dengan harapan mengoordinasikan komitmen seluruh blok untuk meninggalkan sumber energi, yang memiliki jejak karbon yang berat dibandingkan dengan hidrokarbon lain seperti gas alam.
Sikap Inggris tersebut telah memaksa negara-negara anggota lainnya untuk memberi sinyal upaya mereka tentang masalah ini selama persiapan pertemuan.
"Inggris memimpin dunia dalam menangani perubahan iklim dan menghapus batu bara secara bertahap, telah melewati 5.000 jam (lebih dari 208 hari) tanpa menggunakan batu bara untuk listrik tahun lalu," kata juru bicara pemerintah Inggris.
BBC melaporkan bahwa pada pertemuan tersebut Jepang menentang pembatasan terhadap batu bara, dan berharap Inggris berharap akan melonggarkan pendiriannya pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26, atau COP26, di Glasgow pada bulan November.
Batubara bertanggung jawab sekitar 2% listrik yang dihasilkan di Inggris Raya, turun dari 40% pada 2012. Negara ini berencana untuk menutup semua pembangkit listrik tenaga batubara pada 2024, dan berupaya untuk memperluas pangsa energi terbarukan.
Prancis berencana untuk menghentikan listrik batu bara sepenuhnya pada 2022, sementara Italia dan Jerman menargetkan untuk melakukannya masing-masing pada tahun 2025 dan 2038. Sedangkan, Jepang dan AS sejauh ini belum menetapkan target pasti keluar dari batubara.
Pemerintahan AS telah menetapkan target untuk mengurangi 50% hingga 52% emisi gas rumah kaca bersih dari tingkat emisi 2005 pada 2030. Untuk mencapai tujuan ini, negara tersebut pada dasarnya harus berhenti menggunakan batu bara, yang merupakan 19% dari bauran listriknya.
Namun pemerintah AS enggan membuat komitmen keras, mengingat kemungkinan adanya tekanan politik dari daerah-daerah yang secara ekonomi bergantung pada bahan bakar tersebut.
Sementara Jepang berencana untuk mencapai emisi gas rumah kaca nol-bersih pada tahun 2050, batu bara masih merupakan 32% dari bauran listrik Jepang, persentase tertinggi di antar negara G7.
Komitmen pemerintah Jepang untuk mengurangi angka tersebut masih suram, dengan sebagian besar reaktor nuklirnya masih menganggur setelah bencana Fukushima 2011. Jepang pun tidak memiliki banyak daerah yang layak untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga angin dan surya.
Pemerintah Jepang ragu-ragu untuk sepenuhnya mengesampingkan batubara dalam keadaan saat ini, mengingat biaya rendah dan pasokannya yang stabil.
"Kita perlu mengejar keputusan terbaik untuk setiap negara yang mencerminkan keadaan uniknya di jalur (menuju emisi nol bersih) dan bauran energinya," kata Kajiyama.