ESDM: Rockefeller Foundation Siap Danai Pensiun Dini PLTU RI pada 2022
Kementerian ESDM menyatakan bahwa beberapa pihak internasional telah menawarkan bantuan pendanaan kepada Indonesia untuk mempercepat pensiun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Salah satunya Rockefeller Foundation yang siap membiayai pilot project pensiun dini PLTU pada 2022.
"Temen-temen Rockefeller itu dalam rangka dalam G20 itu ingin ada di Indonesia satu PLTU yang sudah masuk pipeline yang masuk pensiun dini dan mereka informasinya sanggup untuk bantu pendanaan," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana dalam acara Energy Corner, Senin (29/11).
Dia menambahkan bahwa bantuan dari Rockefeller ini merupakan upaya pemerintah mempensiunkan dini PLTU untuk mencapai target netral karbon lebih cepat dengan bantuan dari masyarakat internasional. Meski demikian, Rida masih mempertanyakan adanya kepastian pendanaan tersebut.
Menurut dia penghentian PLTU secara bertahap tanpa bantuan asing baru bisa terlaksana hingga 2056 mendatang. Namun jika ada pihak luar yang dapat mendukung program ini, maka penghentian PLTU dapat dipercepat.
"Kalau misalkan ada pihak luar yang mendukung program ini, ya ayo, jangan kemudian mengajak doang tapi tak bawa uang dan teknologinya. Kami sudah buat peta jalan untuk mengidentifikasi risikonya. Kami kan butuh biaya, tak mungkin pakai APBN," ujarnya.
Rida mengatakan pendanaan melalui APBN merupakan opsi terakhir dalam upaya mempercepat target net zero emission, sehingga pemerintah lebih mendorong agar pendanaan bisa melalui dana publik.
Sebagai informasi, Rockefeller Foundation merupakan organiasi pemberi bantuan terbesar ke-39 di Amerika Serikat (AS) dengan pemberian bantuan atau hibah mencapai US$ 173 juta per tahun. Per 2016 organisasi ini memiliki total aset mencapai US$ 4,6 miliar. Menurut catatan OECD, pada 2019 Rockefeller menggelontorkan bantuan pembangunan US$ 103,8 juta.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebelumnya menyebut anggaran yang dibutuhkan Indonesia untuk mempensiunkan seluruh PLTU yang ada saat ini mencapai Rp 3.500 triliun.
"Tidak ada cara bagi Indonesia bisa menangani masalah perubahan iklim dan mengurangi PLTU dengan cara sendiri, karena ini sangat mahal," kata Suahasil dalam webinar Road to Glasgow: Indonesia's Contribution to COP26, Kamis (28/10).
Suahasil mengatakan, pemerintah telah melakukan budgeting, yakni mengalokasikan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mencapai target tersebut. Namun, upaya ini tentu tidak cukup.
Ia pun melihat pertemuan negara-negara dunia dalam agenda COP26 di Glasgow dalam waktu dekat jadi momentum penting. Agenda ini dapat menjadi milestone bagi internasional untuk memenuhi janjinya dalam rangka membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia mencapai target perubahan iklim terutama dari sisi pendanaan.
Indonesia menargetkan bisa mengurangi emisi sampai 29% pada tahun 2023 dengan cara sendiri. Namun, pemerintah lebih optimistis untuk mengurangi emisi jika mendapatkan dukungan dari internasional dengan target pengurangan hingga mencapai 41%.
Suahasil menjelaskan, PLTU mengambil peran signifikan pada produksi karbon Indonesia. Berdasarkan riset, sekitar 35% dari emisi karbon yang ada berasal dari konsumsi energi, sebagian besar untuk listrik.