G7 Tawarkan Indonesia Bantuan Rp 156,5 T untuk Keluar dari Batu Bara
Kelompok tujuh negara terkaya di dunia, G7, dan mitranya menawarkan bantuan hingga miliaran dolar kepada Indonesia dan Vietnam untuk keluar dari bisnis batu bara. Total bantuan mencapai US$ 15 miliar (Rp 234,8 triliun), Indonesia US$ 10 miliar (Rp 156,6 triliun) dan Vietnam US$ 5 miliar (Rp 78,3 triliun).
G7 menawarkan bantuan ini kepada India. Kesepakatan dengan ketiga negara tersebut telah dinegosiasikan sepanjang tahun ini yang mengikuti model bantuan yang telah disepakati dengan Afrika selatan sebesar US$ 8,5 miliar (Rp 133,1 triliun) untuk menutup industri batu bara di sana.
Kesepakatan tersebut bernama Just Energy Transition Partnership (JETP), atau kemitraan transisi energi yang adil. Diharapkan setidaknya dua kemitraan baru akan terbentuk selama pembicaraan iklim COP27 PBB di Mesir.
Menurut laporan dari layanan diplomatik UE untuk Dewan UE tertanggal 24 Oktober 2022, diskusi dengan Vietnam dan Indonesia dilaporkan telah maju ke titik di mana penawaran tunai masing-masing disepakati masing-masing US$ 5 miliar (Rp 78,3 triliun) dan US$ 156,5 triliun).
“Angka bantuan yang akan diberikan oleh UE dalam kesepakatan tersebut mungkin telah berubah,” kata sumber anonim dari Dewan UE yang mengetahui masalah ini seperti dikutip dari Politico, pada Rabu (2/11).
Sementara pembicaraan dengan India belum berkembang sejauh yang telah dicapai dengan Vietnam dan Indonesia. Pemerintah India disebut lebih tertarik berbicara mengenai pengembangan energi terbarukan daripada menghentikan industri batu bara secara bertahap.
“Lebih banyak waktu diperlukan untuk menyelesaikan JETP dengan India. Kemajuan kemungkinan dapat lebih dicapai dengan presidensi G20 India,” kata satu laporan yang dikutip Politico.
Adapun kelompok negara pendonor untuk Vietnam dan Indonesia adalah kelompok G7, Norwegia, dan Denmark. Selandia Baru juga mempertimbangkan untuk bergabung dengan kesepakatan Indonesia.
Bantuan keuangan ini adalah kombinasi antara pembiayaan publik dan swasta, serta bantuan teknik. Namun penggalangan dana publik untuk upaya iklim di luar negeri menjadi semakin menantang, bahkan bagi negara-negara terkaya di dunia karena inflasi, tingginya biaya energi dan perang Rusia-Ukraina.
Indonesia Diminta Batalkan Proyek PLTU Batu Bara
European External Action Service (EEAS) melaporkan bahwa kesepakatan yang ditengahi oleh AS dan Jepang dengan Indonesia terancam oleh proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di provinsi Kalimantan Utara.
Pemerintah Indonesia menyetujui fasilitas pembiayaan pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 5 gigawatt (GW). “Meskipun posisi konsisten dari kelompok donor bahwa jika proyek ini dilanjutkan, maka JETP tidak akan tersedia,” kata EEAS.
Sebagai bagian dari pembicaraan kuat yang dipimpin oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen dan utusan iklim John Kerry, para donor sekarang sedang menjajaki bagaimana penyimpanan tenaga surya dan baterai dapat menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Sebuah pertemuan di Washington pada 14 Oktober mengkonfirmasi kesediaan kedua belah pihak untuk meluncurkan JETP, namun beberapa perbedaan besar masih ada,” kata laporan EEAS.
Laporan media yang mengutip lembaga think tank Indonesia mengatakan bahwa pemerintah di Jakarta mengharapkan untuk mengumumkan kesepakatan tersebut pada pertemuan puncak para pemimpin G20 di Bali, yang berlangsung pada minggu kedua COP27.
Para donor telah memberi tahu Indonesia bahwa mereka harus menargetkan puncak emisi sektor listrik pada 2030 sebelum mencapai nol pada 2050-2055.
Tetapi Indonesia telah keberatan dengan jadwal yang diusulkan untuk meluncurkan energi terbarukan dan memotong subsidi batu bara, kata EEAS. Jakarta juga menuntut lebih banyak uang untuk mempercepat penghentian pembangkit batu bara.
Para donor juga meminta reformasi yang menghapus kebijakan proteksionis, subsidi batu bara, dan ketidakpastian peraturan. Tetapi laporan EEAS mengatakan bahwa pembicaraan sebenarnya telah memburuk pada aspek-aspek ini.
“Indonesia mulai menyimpang dari posisi konstruktif sebelumnya mengenai reformasi kebijakan yang diperlukan,” tulis laporan EEAS.