Proyek PLTU di Kawasan Industri Dinilai Hambat Investasi Hijau
Langkah pemerintah yang masih mengizinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di kawasan industri hijau mendapat sorotan. Langkah ini dinilai dapat menghambat masuknya investasi hijau ke dalam negeri.
Menurut Direktur Eksekutif CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira, ada upaya untuk seolah menggambarkan bahwa Pemerintah Indonesia siap menampung dana investor kakap seperti BASF dan Volkswagen untuk berinvestasi di industri baterai.
"Tapi banyak yang masih meragukan terkait komitmen Pemerintah dalam meningkatkan perlindungan
lingkungan hidup, dan komunitas setempat. Padahal investor sekelas BASF-VW memiliki ESG yang ketat dan terus menerus diaudit," kata Bhima melalui keterangan tertulis, Rabu (26/4).
Menurut Bhima, masalah penggunaan PLTU kawasan menjadi krusial dalam rantai pasok BASF-VW yang mensyaratkan kejelasan sumber material kritikal untuk bahan baku baterai dan komponen mobil listrik lainnya.
"Satu gram saja campuran nikel pada baterai mobil listrik diambil dari proses pemurnian (smelter) yang bermasalah maka reputasi BASF-VW akan terpengaruh. Dalam proses due dilligence perusahaan, tim biasanya akan dikirim untuk melacak asal usul material," ujarnya.
Proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia atau KIHI berlokasi di tiga desa, yakni Tanah Kuning, Mangkupadi dan Binai di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. KIHI saat ini masih dalam tahap awal perencanaan. Dari total luas lahan 30.000 hektare (ha), 9.500 ha lahan siap dikembangkan PT Kalimantan Industrial Park Indonesia.
CELIOS mencatat ada dua zona di dalam wilayah KIHI, yakni zona biru dan zona hijau. Zona biru dinyatakan sebagai kawasan yang masih disokong oleh pembangkit batu bara. Zona itu memiliki luas lahan 3.910,41 ha atau hampir dua kali lipat dari luasan zona hijau sebesar 2.196,56 ha.
Direktur Kebijakan Pertambangan CELIOS, Wishnu Try Utomo, menganggap bahwa langkah pemerintah yang masih mengizinkan pembangunan PLTU batu bara di kawasan industri hijau merupakan kebijakan yang kontradiksi.
Wishnu juga menyoroti langkah pemerintah untuk menambah beberapa PLTU captive atau kawasan. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 - 2030, PLN masih menargetkan penambahan kapasitas PLTU sebesar 13,8 GW.
“Ditambah lagi adanya beberapa PLTU captive yang akan dibangun secara serentak di berbagai wilayah smelter nikel dan aluminium seperti di Morowali, Weda Bay, hingga Kalimantan Utara,” ujarnya.
Selain PLTU captive, Wishu juga mengatakan bahwa upaya penutupan total PLTU batu bara ikut terhambat dengan adanya metode co-firing yang kenyataannya hanya mengurangi jumlah penggunaan batu bara sebesar 5-10%.
Adapun serapan konsumsi biomassa PLN untuk campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencapai 220.000 ton sepanjang kuartal I 2023. Angka ini setara 20% dari kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini.
“Metode ini justru memperbesar potensi deforestasi karena kebutuhan biomassanya yang terlalu tinggi, belum lagi adanya upaya memperpanjang usia PLTU yang seharusnya sudah layak dipensiunkan.” Kata Wishnu.
Meski demikian, sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan bahwa PLTU dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan energi dalam masa transisi pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan tenaga surya (PLTS) yang akan menjadi sumber energi bersih KIHI.
"PLTU akan digunakan selama 10-15 tahun dalam masa transisi pembangunan PLTA," kata Luhut. "Untuk membangun PLTA kami memperkirakan kebutuhan investasi hingga US$ 10-12 miliar".
Seiring dengan pembangunan PLTU dan PLTA, investor juga akan membangun panel surya atau PLTS. Meski demikian Luhut menyampaikan kebutuhan energi para investor di kawasan tersebut melebihi kapasitas dari PLTA dan PLTS.
Oleh karena itu pemerintah akan menyeleksi jenis industri yang akan dikembangkan di kawasan tersebut. Luhut menyampaikan dua kriteria utama, pertama, industri yang bisa memberikan nilai tambah dari kekayaan alam Indonesia.
"Nilai tambah tersebut akan semakin tinggi jika diproses dengan menggunakan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang ada di sini. Ini semakin diminati negara-negara Eropa pada tahun-tahun ke depan," kata Luhut.
Kedua, industri yang dibangun harus bisa menempatkan Indonesia pada posisi kunci pemanfaatan teknologi di masa mendatang. Oleh karena itu pabrik baterai yang akan dibangun di KIHI tidak hanya yang berbasis nikel, melainkan juga non-nikel.
"Non nikel ini sekarang dengan teknologi terbaru sudah mulai kelihatan di depan. Kita juga membangun pabrilk panel surya dan precision engineering manufacturing facilities," kata Luhut.