Perhutanan Sosial Berpeluang Ikut Perdagangan Karbon, Ini Syaratnya
Pemerintah membuka peluang bagi pengelola hutan adat dan perhutanan sosial untuk mengikuti skema perdagangan karbon dengan sejumlah persyaratan.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.7/2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan menyebutkan skema ini bisa dijalankan di kawasan hutan negara, hutan yang sudah dibebani perizinan, areal hutan adat, hingga perhutanan sosial.
Bagi pemilik izin hutan dalam skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Kementerian LHK mewajibkan sejumlah sertifikasi. Mulai dari sertifikat pengelolaan hutan lestari, sertifikat legalitas hasil hutan, atau deklarasi hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, hanya pengelola perhutanan sosial (Perhutsos) yang telah memperoleh sertifikasi silver ke atas yang bisa menjalankan skema perdagangan karbon. Selain itu, pengelola Perhutsos dan masyarakat pemilik hutan adat juga diwajibkan memiliki memiliki mitra pendamping.
“[Mitra] harus memiliki pengalaman atau keahlian terkait pengukuran karbon, perencanaan dan pelaksanaan proyek atau mengakses pasar karbon,” tulis draf beleid bertarikh 16 Juni 2023 yang diperoleh Katadata tersebut.
Pasal 5 beleid itu juga menyebutkan perdagangan karbon akan dilakukan melalui mekanisme perdagangan emisi dan pengimbangan (offset) emisi gas rumah kaca. Para pelaku perdagangan dan offset nantinya akan diwajibkan menyusun Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM) Perubahan Iklim sebelum mengajukan izin perdagangan karbon.
Sementara itu, Kementerian LHK juga membuka peluang perdagangan karbon ke luar negeri. Namun, pemerintah akan menetapkan jumlah tertinggi karbon yang bisa diperdagangkan ke luar negri. Batas atas kuota yang bisa dijual ke luar negeri ini akan disesuaikan dengan target pengurangan emisi sub sektor dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Kendati demikian, tidak semua kawasan hutan bisa menjalankan skema perdagangan karbon. Pengecualian diberikan kepada kawasan yang telah menjalankan skema result-based payment (RBP) atau memiliki komitmen internasional setara RBP. Salah satu proyek RBP yang sudah berjalan saat ini berada di Kalimantan Timur dengan nilai US$ 20,9 juta atau sekitar Rp 313 miliar.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan Indonesia akan memulai perdagangan perdana bursa karbon pada September 2023. Mahendra menyebut bursa karbon akan memulai perdagangan perdananya setelah sistem informasinya terpenuhi.
Rencana awalnya akan dilakukan antara lain dengan peluncuran hasil RBP sebanyak 100 juta ton karbon dioksida ekuivalen.