Sekretariat JETP Sepakati Alokasi Dana Elektrifikasi, Efisiensi Energi
Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia telah menyepakati target sasaran alokasi pendanaan iklim JETP untuk percepatan sektor elektrifikasi dan efisiensi energi. Keputusan tersebut merupakan hasil kesepakatan internal empat kelompok kerja di tubuh Sekretariat JETP Indonesia.
Kepala Sekretariat JETP, Edo Mahendra, mengatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, Sekretariat JETP didukung oleh empat kelompok kerja (Pokja) yang berasal dari lembaga independen. Lima pokja ini memiliki tugas beragam mulai dari soal teknis, kebijakan, pendanaan, transisi berkeadilan, serta elektrifikasi dan efisiensi energi.
"Satu yang sudah kami sepakati adalah elektrifikasi dan efisiensi energi, fokusnya di end user sector," kata Edo saat menjadi pembicara di diskusi publik bertajuk 'Risiko dan Tantangan Implementasi JETP Indonesia' di Kantor CCIS Jakarta pada Kamis (3/8).
Sekretariat JETP memiliki daftar sejumlah proyek transisi energi, yakni pengembangan jaringan transmisi, pensiun dini PLTU batu bara, pengembangan pembangkit EBT serta penciptaan rantai pasok energi.
Adapun empat Pokja yang dibentuk untuk mendukung implementasi aksi JETP beranggotakan lembaga keuangan dan organisasi kerja sama pembangunan ekonomi internasional.
International Energy Agency (IEA) berperan sebagai ketua Pokja Teknis yang didukung oleh IESR, Rocky Mountain Institute (RMI), Bank Dunia, dan PLN. Bank Dunia diberi kewenangan untuk memimpin Pokja Kebijakan JETP Indonesia yang beranggotakan IEA, USAID, Asian Development Bank (ADB) dan Kementerian Perindustrian.
Adapun Pokja Pendanaan diketuai oleh ADB dengan anggota GFANZ, JICA, Climate Policy Initiative, AFD dan Kementerian Keuangan. Sementara Pokja Transisi Berkeadilan dipimpin oleh organisasi global UNDP.
Edo mengatakan hasil keluaran dari tiap-tiap Pokja akan menjadi masukan bagi Sekretariat JETP yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan final terkait dokumen rencana investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Sekretariat JETP berencana untuk merampungkan CIPP pada 16 Agustus 2023.
"Bisa saja output dari kelompok kerja yang dibuat oleh ADB bisa kami tolak, karena sekretariat itu seperti spons. Tujuan sekretariat untuk menentukan mana yang kredibel dan bisa diterapkan," ujar Edo.
Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, Gigih Udi Atmo, mengatakan bahwa program elektrifikasi merupakan salah satu strategi untuk mencapai nol emisi karbon (NZE) 2060. Satu diantara program unggulan elektrifikasi di Kementerian ESDM adalah pelaksanaan konversi motor BBM menjadi motor listrik.
Gigih menambahkan, efisiensi energi merupakan strategi yang efektif untuk menekan keluaran emisi karbon dengan modal investasi paling terjangkau. Program efisiensi energi rencananya menyasar 24 perusahaan sub sektor industri petrokimia, pulp dan kertas, semen, makanan dan minuman, besi baja dan manufaktur.
Puluhan perusahaan terpilih itu merupakan mereka yang telah menyampaikan dan melaksanakan pelaporan daring manajemen energi alias POME. Menurut Gigih, urgensi penurunan emisi di enam sub sektor industri tersebut dapat berkontribusi pada penurunan emisi sebesar 384.257 ton CO2 ekuivalen.
Adapun pendanaan investasi yang dibutuhkan sekira Rp 749 miliar untuk penggantian dan modifikasi alat. "Harapan kami setelah selesai audit, ada namanya realisasi investasi dan kami harap bisa masuk didanai oleh JETP," kata Gigih pada forum yang sama.
Selain itu, dia juga menyoroti peluang efisiensi energi dari pengalihan konsumsi energi dari pembangkit sendiri atau captive power yang dimiliki oleh perusahaan ke jaringan listrik milik PLN
Program itu dipercaya mampu menurunkan emisi di sektor industri sebesar 10,5 juta ton CO2 ekuivalen per tahun dan potensi penghematan biaya energi hingga Rp 4,26 triliun apabila menggunakan listrik dari jaringan PLN, dengan hitungan asumsi harga batu bara US$ 191 per ton dan harga gas US$ 6,5 per mmBTu.
Adapun total investasi yang dibutuhkan yakni Rp 1,2 triliun dengan sasaran penerima 26 perusahaan sub sektor industri petrokimia, pulp dan kertas, semen, makanan dan minuman, besi baja dan sektor manufaktur yang memiliki pembangkit listrik.
"Captive power ini coba kami alihkan untuk menjadi pelanggan PLN. Lumayan bisa mereduksi emisi 10 juta ton dan investasinya relatif terjangkau karena hanya meningkatkan grid PLN dari sisi pelanggan dan distribusi," ujar Gigih.
Pemerintah Indonesia bersama mitra nagara dan lembaga keuangan internasional telah menyepakati komitmen pendanaan JETP senilai US$ 20 miliar. Sejauh ini, pemerintah sudah menggenggam kepastian nilai pinjaman komersial senilai US$ 10 miliar atau separuh dari porsi dana iklim JETP.
Pinjaman komersial ini nantinya akan disalurkan oleh akan difasilitasi oleh aliansi perbankan swasta di bawah Glasgow Financial Alliance for Net Zero atau GFANZ yang beranggotakan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga mendapatkan dana hibah senilai US$ 160 juta atau sekira Rp 2,39 triliun dari pendanaan JETP yang berasal dari sumber pendanaan publik dari International Partners Group (IPG) yang dijanjikan oleh Amerika Serikat (AS), Jepang, serta beberapa negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa.
Dana hibah itu ditujukan untuk studi kelayakan maupun mengidentifikasi proyek-proyek prioritas yang akan didanai dalam pendanaan iklim JETP.