Pemerintah Tegaskan Tolak Dana Utang JETP Jika Bunganya Terlalu Tinggi
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Keuangan mengungkapkan bahwa pemerintah tidak akan menerima pendanaan transisi energi dalam skema Just Energi Transition Partnership (JETP) apabila bunga pinjamannya terlalu tinggi.
Untuk diketahui, JETP merupakan salah satu skema pendanaan transisi energi sebesar US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 310 triliun untuk memenuhi kebutuhan proyek transisi energi di Indonesia hingga tiga sampai lima tahun mendatang. Namun pendanaan JETP didominasi oleh pinjaman sedangkan hibah porsinya tak sampai 1%.
Kepala BKF Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan, pemerintah sejatinya ingin melakukan transisi energi guna mengurangi emisi karbon melalui pendanaan dengan bunga murah dan lebih terjangkau.
"Kalau bunganya terlalu besar tentu kita tidak mau, karena kita punya funding yang lain. Kita ingin penurunan emisi karbon negara ini dengan transition finance yang bunganya lebih murah dan terjangkau,” ujarnya di sela acara 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition di Jakarta, dikutip Senin (25/9).
Terkait hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, keputusan pemerintah untuk tidak menerima dana JETP apabila bunganya terlalu tinggi sudah tepat.
“Karena seharusnya bentuk dana JETP di mana US$ 10 miliar ditanggung oleh negara maju, bentuknya adalah hibah bukan pinjaman,” kata Bhima kepada Katadata.co.id.
Bhima khawatir, jika pemerintah menerima tawaran pinjaman yang di mana bunganya terlalu tinggi, maka ujungnya beban bunga utang negara akan semakin meningkat.
Sebab, kata Bhima, pada 2024 pemerintah harus membayar bunga utang dan pokok utang setara 42% dari total pendapatan negara. “Tentu tambahan pinjaman JETP akan membuat ruang fiskal menyempit,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah seharusnya menagih negara maju untuk konsisten membantu negara berkembang dan miskin lewat skema pembiayaan kreatif. Misalnya, debt swap, di mana utang negara maju existing bisa ditukar dengan penutupan atau pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
“Ada juga alternatif lewat debt cancellation untuk mengurangi beban utang. Perlu dicatat bahwa negara maju sudah memiliki komitmen US$ 100 miliar, kewajiban pendanaan pada COP15,” ujarnya.
Untuk itu, Bhima mengatakan bahwa komitmen tersebut perlu terus ditagih. Kemudian, dia menyebut pendanaan kreatif lainnya untuk mendukung transisi energi bisa melalui perdagangan karbon yang sering diklaim pemerintah bisa berpotensi menghasilkan keuntungan hingga Rp 15 kuadriliun.
“Jangan khawatir JETP tidak terealisasi karena masih banyak cara lain. Cina misalnya, punya Green Belt Road Initiative, salah satunya proyek energi bersih di Asia Tenggara.
Dia mengatakan, bisa jadi komitmen pendanaan Cina tersebut lebih murah sekaligus banyak porsi hibah nya. Bhima menyebut bahwa Cina sejauh ini belum menjadi bagian dari JETP, “JETP hanya trial and error, ya kalau belum jodoh bisa cari cara lainnya,” ujar Bhima.
Sebagai informasi, pendanaan JETP nantinya memang lebih banyak akan diberikan dalam bentuk pinjaman komersial. Ini termasuk pendanaan swasta yang di inisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$ 10 miliar.
Adapun pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. “Kemudian ada yang pinjaman, tapi pinjaman komersial yang bunganya lebih menarik," kata dia.
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).