Pajak Karbon Antar Negara Berlaku 2026, Industri Harus Antisipasi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan mekanisme pajak karbon antar negara (cross border) akan diterapkan pada 2026. Untuk itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif meminta kepada sektor industri agar segera mengantisipasi pajak karbon lintas negara.
Menurut Arifin, antisipasi tersebut salah satunya bisa dilakukan dengan mengurangi emisi karbon sebanyak-banyaknya. Caranya dengan meningkatkan pemanfaatan pembangkit energi baru terbarukan sebagai sumber energi bersih.
"Adanya mekanisme ini, produk-produk dari dalam negeri bisa dikenakan pajak karbon dan kita juga bisa mengenakan pajak karbon ke negara lain," ujar Arifin saat ditemui usai Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, Senin (20/11).
Dia mengatakan, industri perlu mengantisipasi pajak karbon lintas negara karena penerapan kebijakan ini akan berdampak pada daya saing produk jika industri terbebani pajak karbon yang tinggi. Artinya, apabila beban pajak karbon yang ditanggung pengusaha semakin besar, maka harga produk yang akan dijual juga akan menjadi semakin mahal.
Selain itu, menurut dia, negara lain sudah semakin cepat dalam menjalankan transisi energi. Indonesia tidak boleh kalah saing dengan negara-negara lainnya. Oleh sebab itu, Kementerian ESDM mengusulkan sejumlah cara untuk mempercepat pengembangan EBT di Indonesia.
Adapun salah satu usulan tersebut yakni dengan menerapkan fleksibilitas kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan skema penggunaan jaringan transmisi dan distribusi bersama (power wheeling). Namun demikian, kebijakan TKDN ini berpotensi menghambat proyek-proyek EBT yang didanai dari luar negeri.
Pada Pasal 24/39 DIM RUU EBET disebutkan badan usaha yang mengusahakan energi baru dan energi terbarukan diharuskan mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. Produk dan potensi yang dimaksud meliputi tenaga kerja Indonesia, teknologi dalam negeri, bahan-bahan material dalam negeri, dan komponen dalam negeri lainnya terkait Energi Baru/Energi Terbarukan.
Dalam rancangan regulasi tersebut, pemerintah juga telah memberikan syarat ketat kepada badan usaha untuk melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi jika ingin berinvetasi energi baru/energi terbarukan di Indonesia. Hal ini bertujuan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia lokal.
Perbaiki Regulasi
Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bobby Gafur Umar, mengatakan pengusaha siap dikenakan pajak karbon yang rencananya akan diimplementasikan tahun depan. Namun demikian, dia meminta pemerintah untuk mematangkan regulasinya terlebih dahulu.
"Jadi indonesia masih perlu beberapa tahap, baik itu dari peraturannya, perhitungannya, maupun standarisasi dari karbon kredit ini. Artinya regulasinya harus benar dulu, baru kami siap terapkan pajak karbon," ujar Bobby saat dihubungi Katadata, dikutip Rabu (18/10).
Menurut dia, regulasi dari pajak karbon saat ini masih perlu banyak yang harus dimatangkan, mulai dari harganya yang kerap kali berubah-ubah hingga waktu penetapannya. Untuk itu, dia mengatakan, pemerintah harus tegas mengambil sikap terkait hal tersebut.
"Dari waktunya saja selalu mundur-mundur, awalnya sempat ada rencana di bulan April penerapan pajak karbon, lalu mundur ke bulan juni, terus mundur lagi ke 2024 atau 2025," kata dia
Namun, dia mengakui, kebijakan bursa karbon tersebut sangat positif karena pemerintah menunjukan upayanya dalam mendorong transisi energi. Hal itu mengingat banyaknya permasalahan di Indonesia akibat polusi dan cuaca ekstrem sehingga diperlukan transisi energi.
"Jadi tidak bisa lagi sekarang orang membuat suatu manufaktur tanpa ada energi bersih dalam perencanaan atau peraturannya,' ujarnya.