OJK Didesak Perketat Pembiayaan Sawit yang Memicu Deforestasi

Rena Laila Wuri
27 Maret 2024, 09:30
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 16/2023. Baleid yang diterbitkan yaitu tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan atau POJK Penyidikan.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 16/2023. Baleid yang diterbitkan yaitu tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan atau POJK Penyidikan.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Greenpeace Indonesia menyoroti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena kebijakan keuangan berkelanjutan yang masih jauh dari ideal. Otoritas tersebut didesak untuk mengawasi pembiayaan sawit yang memicu deforestasi.

Hal ini menyusul sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa yang merilis laporan terbaru terkait lembaga keuangan dan kerusakan lingkungan hidup.

Laporan yang dirlis Greenpeace International ini bertajuk “Uni Eropa Membiayai Perusakan Ekosistem”. Dalam laporran tersebut menunjukkan ada sekitar US$ 1,257 triliun atau setara RP 19.842 triliun kredit global mengalir ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim. Dana ini mengalir sejak adanya penandatanganan Perjanjian Paris pada akhir 2015.

Pendanaan tersebut mengalir ke 135 perusahaan di sektor seperti kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lainnya yang berpotensi tinggi merusak ekosistem. Padahal, Uni Eropa memiliki komitmen penanganan perubahan iklim dan kebijakan anti-deforestasi.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan praktik serupa juga terjadi di Indonesia. Praktik-praktik industri sawit Indonesia di masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan. 

Menurut dia, praktik serupa masih mungkin berlanjut. Apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR.

“Temuan laporan ini harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa, untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan untuk mengembangkan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi,” kata Arie Rompas, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (27/3).

Arie berharap Pemerintah Indonesia juga harus memperkuat komitmen iklimnya dengan memastikan tak ada lagi deforestasi. Hal ini karena deforestasi besar sekali kontribusinya memperparah krisis iklim.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, mengatakan Uni Eropa dan  Indonesia perlu lebih ketat meregulasi lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing. Dengan demikian, lembaga tersebut lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan.

Hutan Indonesia Berkurang 1,3 Juta Hektare

Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada 2022 mencapai 102,53 juta hektare (ha). Angka itu berkurang sekitar 1,33 juta ha atau turun 0,7% dibanding 2018.

Selama 2018-2022, hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan. Dalam periode tersebut, pengurangan luas hutan di Kalimantan mencapai 526,81 ribu ha.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2018-2022, luas hutan berkurang karena berbagai faktor, yaitu peristiwa alam, penebangan hutan, dan reklasifikasi area hutan.

Namun, BPS tidak merinci faktor mana yang paling dominan dalam pengurangan luas hutan Indonesia.

Reporter: Rena Laila Wuri

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...