Ini Alasan BASF Keluar dari Proyek Bahan Baku Baterai di Indonesia
Perusahaan kimia asal Jerman, BASF, telah mengumumkan untuk keluar dari proyek pabrik bahan baku baterai kendaraan listrik yang merupakan hasil kongsi dengan perusahaan metalurgi asal Prancis, Eramet SA. Perusahaan menyebut pasar nikel global telah berubah signifikan sejak proyek tersebut dimulai sehingga perusahaan menilai tidak perlu lagi melakukan investasi besar di proyek tersebut.
Manajemen BASF menyatakan bahwa perusahaan tidak akan mengevaluasi lebih lanjut potensi investasi di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay, Halmahera Tengah, Indonesia. Pada tahun 2020, BASF dan Eramet, menandatangani perjanjian untuk menilai potensi proyek baterai kendaraan listrik, dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai US$2,6 miliar atau Rp 42,72 triliun.
"Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay. Sejak dimulainya proyek tersebut, pasar nikel global telah berubah secara signifikan," kata Anup Kothari, Anggota Dewan Direktur Eksekutif BASF SE, dalam penjelasan di situs perusahaan, dikutip Kamis (27/6).
Kothari menyebut opsi pasokan telah berevolusi, termasuk untuk bahan baku baterai yang dibutuhkan BASF. Oleh karena itu, BASF menilai tidak perlu lagi melakukan investasi yang begitu besar untuk memastikan pasokan logam yang tangguh untuk bisnis bahan baterainya. Perusahaan akan menghentikan semua kegiatan evaluasi dan negosiasi yang sedang berlangsung untuk proyek di Weda Bay.
"Pasokan bahan baku penting yang aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk produksi bahan aktif katoda prekursor, yang mungkin juga berasal dari Indonesia, tetap penting untuk pengembangan masa depan bisnis bahan baterai kami," kata Dr. Daniel Schönfelder, Presiden divisi Katalis BASF.
Bisnis bahan baterai BASF mengoperasikan tim sumber daya khusus. Tim ini berfokus pada logam dan manajemen prekursor serta perdagangan dan telah mengembangkan jaringan mitra yang kuat untuk memastikan pasokan bahan baku penting yang tangguh yang diperlukan untuk bisnis bahan aktif katoda global yang sedang berkembang.
Sejalan dengan BASF, Eramet juga menyatakan tidak akan melanjutkan proyek baterai raksasa ini. Dalam pernyataan resmi, manajemen Eramet menyatakan akan terus mengevaluasi potensi investasi dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia dan akan terus memberikan informasi kepada pasar pada waktunya.
"Indonesia siap untuk memainkan peran penting di masa depan pasar nikel global secara keseluruhan. Eramet tetap fokus untuk mengoptimalkan potensi sumber daya tambang Weda Bay secara berkelanjutan untuk memasok bijih ke produsen nikel lokal, sementara itu kami juga menyelidiki lebih lanjut peluang untuk berpartisipasi dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia," kata Geoff Streeton, Group Chief Development Officer, Eramet dalam pernyataan resmi di situs perusahaan.
Sebelumnya, Bloomberg melaporkan bahwa rencana BASF mundur dari proyek bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia dipicu oleh pertumbuhan kendaran listrik yang melambat. Menurut BloombergNEF, penjualan baterai kendaraan listrik diperkirakan turun menjadi 6,7 juta unit hingga 2026.
Perlambatan ini terlihat di pasar Jerman dan Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan otomotif seperti Volkswagen AG, Stellantis NV, dan Mercedes-Benz telah mengalihkan proyek-proyek baterai kendaraan listrik mereka.