Jelang COP29, Dunia Perlu Kritis pada Dana Investasi yang Rusak Alam
Dunia perlu kritis terhadap dana-dana investasi yang merusak alam dan jumlahnya saat ini jauh lebih besar dari proyek-proyek berbasis alam. Topik tersebut perlu menjadi perhatian serius dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP29) di Baku.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Tory Kuswardono, mengatakan laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) pada 2003 menyebutkan investasi untuk proyek-proyek berbasis alam (Nature-based Solutions) hanya sebesar US$ 200 juta, dibandingkan investasi dana publik dan swasta US$ 7 triliun yang merusak alam dan keanekaragaman hayati.
Dana itu digunakan antara lain untuk pembangunan pembangkit listrik berbahan baku fosil dan alat berang untuk perang, diantaranya Ukraina dan Israel. Menurut dia, dana dalam laporan itu bahkan belum memperhitungkan kerusakan yang ditimbulkan akibat perusakan lingkungan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal dan hak asasi manusia.
Tory mengatakan, hal itu perlu karena upaya mengatasi perubahan iklim dunia memerlukan biaya yang tidak sedikit. ”Perhitungan standing committee memperkirakan kebutuhan pendanaan iklim global setiap tahunnya hingga 2030 mencapai US$ 8 triliun,” ujarnya dalam diskusi Lapor Iklim jelang COP29 bersama beberapa perwakilan masyarakat sipil di Jakarta, Jumat (8/11).
Dia mengatakan, perhitungan baru ini menggantikan target US$ 100 miliar per tahun yang dicanangkan dalam COP15 di Kopenhagen pada 2009. Estimasi ini menunjukkan jumlah yang semakin besar. Pendanaan bukan hanya mencakup mitigasi dan adaptasi iklim, tetapi juga kehilangan dan kerusakan (loss and damage) terhadap aset sumber daya alam dan perlindungan alam serta keanekaragaman hayati.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengatakan bukan hanya pendanaan iklim yang penting, tapi juga sistem akan pembiayaannya bisa berjalan dengan tepat. Selama ini, dana terbesar turun dalam bentuk investasi infrastruktur untuk mitigasi. Tapi pendanaan untuk adaptasi malah lebih kecil.
Nadia berharap pembiayaan adaptasi malah seharusnya tidak diberikan dalam bentuk utang. Kriteria pembiayaan untuk loss and damage dan perlindungan alam pun masih jauh dari ketetapan siapa yang menanggung biayanya.
“Harus ada reformasi arsitektur pendanaan global,” katanya.
Direktur Perubahan Iklim dari Kemitraan, Eka Melisa, mengatakan Indonesia perlu mempertimbangkan peran negara-negara yang bersekutu dalam BRICS. Hal itu mengingat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan keinginan bergabung dalam blok ekonomi tersebut.
“Kita perlu melihat konstelasi pendanaan iklim, siapa yang mendanai, bagaimana memanfaatkan jaringan ekonomi negara-negara BRICS untuk kepentingan Indonesia,” katanya.
BRICS adalah organisasi ekonomi negara-negara berkembang diprakarsai Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan. BRICS berupaya mendorong perubahan sistem keuangan global dari dominasi negara-negara Barat saat ini.