Investasi Hijau di Asia Tenggara Meroket, PLTS Jadi Primadona

Tia Dwitiani Komalasari
8 Mei 2025, 12:35
Teknisi memeriksa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/4/2025). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga S
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adh
Teknisi memeriksa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/4/2025). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLST) atap kepada PT PLN (Persero), proyek pembangunannya memiliki kuota dengan kapasitas hingga 5.746 megawatt (MW) dalam kurun waktu 2024-2028.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Investasi hijau di Asia Tenggara meningkat lebih dari 40% pada 2024. Lebih dari 30 persen investasi hijau tersebut ditempatkan di proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Investasi ini mencakup fasilitas penyimpanan energi surya dan baterai, serta pabrik produksi sel dan panel surya.

Kesimpulan tersebut berdasarkan laporan Ekonomi Hijau Asia Tenggara 2025 yang merupakan hasil kolaborasi antara Bain and Company, Temasek, Google, GenZero, dan Standard Chartered. Berdasarkan laporan tersebut, lebih dari 62 persen investasi hijau di Asia Tenggara dilakukan di Singapura dan Malaysia.

Sebanyak 69 persen investasi hijau di negara-negara Asia Tenggara yang dilakukan pada 2024 dilakukan oleh investor asing, baik di dalam maupun luar kawasan. Singapura adalah investor paling aktif di kawasan tersebut, yang terlibat dalam 39 persen transaksi.

Namun, meskipun investasi hijau tumbuh, proyeksi saat ini menunjukkan bahwa negara-negara Asia-Pasifik tidak berada di jalur yang tepat untuk memenuhi target 2030 mereka. Hal itu karena kesenjangan antara emisi aktual dan target yang diperkirakan akan melebar pada 2040 dan 2050. Laporan tersebut mencatat bahwa Asia Tenggara masih sangat rentan, karena emisinya belum mencapai puncaknya.

Direktur pelaksana keberlanjutan di Temasek, Franziska Zimmermann, mencatat kita hanya memiliki waktu lima tahun untuk bertinda guna menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.

"Kita perlu meningkatkan momentum dan fokus pada solusi pragmatis dengan dampak jangka pendek. Para pemangku kepentingan di kawasan ini memiliki kesempatan untuk mendorong perubahan tingkat sistem yang transformatif yang dapat menyeimbangkan keamanan energi, keberlanjutan, dan pertumbuhan ekonomi," katanya dikutip dari Strait Times, Kamis (8/5).

Laporan tersebut menyoroti tiga "solusi tingkat sistem" untuk mendorong dekarbonisasi di Asia Tenggara, yaitu mengembangkan bioekonomi berkelanjutan dengan praktik pertanian dan pengelolaan limbah yang lebih baik; meningkatkan infrastruktur jaringan untuk mendukung energi terbarukan seperti tenaga surya; dan mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.

Laporan tersebut mengatakan bahwa jika diterapkan sepenuhnya, solusi ini dapat menghasilkan tambahan produk domestik bruto hingga US$ 120 miliar, menciptakan 900.000 lapangan kerja, dan memangkas kesenjangan emisi di kawasan tersebut hingga 50 persen pada tahun 2030.

Dikatakan bahwa upaya tersebut dapat didukung oleh penetapan harga karbon yang lebih tinggi serta pembiayaan hijau dan transisi yang ditargetkan, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan pengelolaan limbah dan efisiensi pertanian.

Namun, tantangan yang muncul adalah bahwa dengan meningkatnya permintaan energi dari solusi AI, pusat data perlu beralih ke sumber terbarukan, yang tetap mahal.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan perjanjian pembelian daya virtual (VPPA), pengaturan keuangan di mana perusahaan yang menjalankan pusat data membantu mendanai proyek energi terbarukan dengan membayar sertifikat energi terbarukan, bahkan jika mereka tidak menggunakan listrik secara langsung atau tidak berada di jaringan yang sama. Ini akan membantu perusahaan memenuhi target hijau mereka di negara-negara di mana energi terbarukan terbatas atau terlalu mahal untuk diakses secara langsung.

VPPA semakin diminati sebagai alat utama bagi perusahaan, dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia yang mendukung penggunaannya.

Wakil direktur Pusat Inovasi Keberlanjutan Global Bain and Company, Dale Hardcastle, mengatakan bahwa lingkungan makro saat ini mungkin memperlambat kemajuan dalam ekonomi hijau. Namun, Asia Tenggara dan kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas masih dapat melihat momentum karena pemerintah, perusahaan, dan investor mengubah prioritas.

“Dengan berfokus pada solusi tingkat sistem yang dapat diskalakan dan berdampak tinggi, Asia Tenggara dapat menulis ulang pedoman ekonomi hijau dan mengubah tantangan saat ini menjadi peluang,” katanya.

“Kebutuhan saat ini adalah mendorong dua hasil utama secara paralel – pengurangan emisi yang signifikan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan – memastikan bahwa kawasan tersebut tidak hanya memenuhi tujuan iklimnya tetapi juga membangun ketahanan dan kemakmuran jangka panjang," ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...