Perpres Karbon Harus Fasilitasi Sistem Kelembagaan yang Solid dan Transparan

Image title
4 November 2025, 10:18
Foto udara areal hutan mangrove di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (25/10/2025). Kementerian Kehutanan (Menhut) menyebut potensi total kredit karbon Indonesia yang dapat diperdagangkan mencapai 13,4 miliar ton setara karbon dioksida (CO2) hingga 2
ANTARA FOTO/Andry Denisah/nym.
Foto udara areal hutan mangrove di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (25/10/2025). Kementerian Kehutanan (Menhut) menyebut potensi total kredit karbon Indonesia yang dapat diperdagangkan mencapai 13,4 miliar ton setara karbon dioksida (CO2) hingga 2050 dengan nilai ekonomi mencapai Rp41,7 triliun hingga Rp127,98 triliun bergantung pada harga karbon di pasar global.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Wakil Direktur Policy+, Kenneth Nicholas, menilai tantangan utama dalam implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) kini terletak pada institusionalisasi ekosistem perdagangan karbon yang transparan dan terpercaya.

Kenneth Nicholas, menjelaskan, meskipun Perpres baru ini telah mencerminkan praktik baik dan standar internasional dalam perdagangan karbon, pekerjaan besar justru dimulai pada tahap pembentukan sistem kelembagaan yang solid.

“Dari praktik baik dan standar internasional Peraturan Perdagangan Karbon, mulai dari efficient financing, ecosystem integrity, hingga ease of use, semuanya sudah tercermin dalam Perpres baru. Namun tantangannya kini adalah pada institusionalisasi ekosistem perdagangan karbon yang transparan dan terpercaya,” ujar Kenneth dalam diskusi publik bertajuk “Membedah Perpres 110/2025: Penguatan Ekosistem Pasar Karbon Nasional” di Gedung Nusantara V MPR RI.

Ia menekankan pentingnya keterbukaan registri karbon bagi publik karena kepercayaan terhadap bursa akan menentukan nilai dan harga karbon itu sendiri. Kenneth juga mendorong pembentukan working group teknis lintas kementerian di bawah Komite Pengarah serta penguatan kolaborasi dengan masyarakat di tingkat tapak agar tercipta mekanisme kerja sama yang adil dan saling menguntungkan.

Senada dengan itu, Head of Sustainability Division UMBRA, Kirana D. Sastrawijaya, menilai Perpres 110/2025 membawa perbaikan signifikan dalam aspek hukum dan tata kelola dibandingkan aturan sebelumnya, Perpres 98/2021.

“Isu yang belum dijawab di Perpres 98/2021 kemarin, di antaranya tata kelola kementerian, market international, dan voluntary carbon credit. Kini, Perpres 110/2025 sudah memuat perdagangan unit karbon Non-SPE GRK bersertifikasi internasional sehingga dapat meningkatkan nilai karbon dan tata kelola yang lebih optimal melalui penguatan peran Komite Pengarah serta penyusunan peta jalan perdagangan karbon nasional,” jelas Kirana.

Ia menilai pengakuan terhadap standar internasional melalui Mutual Recognition Arrangement (MRA) dengan lembaga seperti Verra dan Gold Standard akan memperkuat daya saing unit karbon Indonesia di pasar global.

 Vice Chair Association of Carbon Emission Experts Indonesia (ACEXI) Regina Inderadi mengatakan integritas dan transparansi data
karbon adalah fondasi utama pasar karbon yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia menyebut Indonesia harus memperkuat lembaga verifikasi dan validasi serta memastikan akurasi pelaporan emisi.

"Kita dapat menutup celah double counting dan menjaga kepercayaan publik,” katanya.

Sementara itu, Strategic Partnership and Marketing Manager Pertamina NRE, Muhammad Taufik, berbagi pengalaman implementasi pasar karbon dari perspektif korporasi energi.

“Selama tiga tahun terakhir, kami berhasil menjual sekitar 860.000 ton CO? ekuivalen carbon creditsenilai sekitar 3,2 juta dolar. Saat ini permintaan masih sangat tinggi, terutama dari sektor perbankan dan perhotelan di Indonesia,” ungkapnya.

Menurut Taufik, pasar karbon membuka peluang ekonomi baru bagi industri energi, tetapi kepastian regulasi dan konsistensi tata kelola menjadi syarat utama agar korporasi tetap percaya diri berinvestasi dalam proyek-proyek dekarbonisasi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nuzulia Nur Rahmah

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...