Presidensi COP30 Dorong Peran Masyarakat Sipil dalam Percepatan Transisi Energi
Presidensi COP30 mendorong keterlibatan masyarakat sipil demi mempercepat transisi energi yang berkeadilan.
Presiden COP30 André Corrêa do Lago mengatakan transisi energi harus mencakup seluruh perekonomian dan masyarakat, serta mengubah cara kita bekerja, memproduksi, dan hidup. Ia menilai aksi iklim tidak hanya dinegosiasikan oleh pemerintah, tetapi dibangun melalui kerja sama antar masyarakat.
“Jika kita ingin mempercepat pelaksanaan Perjanjian Paris, maka setiap langkah dalam transisi ini harus melindungi mata pencaharian, menciptakan pekerjaan yang layak, dan mengurangi kesenjangan,” katanya, Rabu (12/11).
Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell menegaskan transisi yang berkeadilan membutuhkan percepatan implementasi, terutama di tingkat nasional dan lokal. “Aksi iklim sudah menunjukkan hasil, tapi kita membutuhkan kecepatan dan skala yang lebih besar,” ujarnya.
Negosiasi iklim terdiri dari para negosiator negara (Party), pengamat, dan perwakilan masyarakat sipil. Yang disebut “konstituensi” mencakup sembilan kelompok tematik dari organisasi non-pemerintah (NGO) yang berpartisipasi dalam setiap Konferensi Para Pihak (COP). Mereka didengar oleh para pihak dan berkontribusi dalam agenda resmi melalui dialog terbuka.
Dalam dialog yang digelar pada hari kedua konferensi, para konstituensi membahas peran kerja sama internasional dalam mempercepat dan mendukung transisi energi yang berkeadilan di tingkat nasional dan lokal, serta bagaimana menerjemahkan hasil diskusi tersebut menjadi aksi nyata.
Bert De Wel, Koordinator Global Kebijakan Iklim di International Trade Union Confederation (ITUC)dan perwakilan dari TUNGO (Trade Union Organizations), merangkum jalannya diskusi antara konstituensi dan presidensi.
“Kami mendengar YOUNGO (Organisasi Pemuda) memberikan saran konkret tentang bagaimana menangani aspek keuangan. Rekan saya dari IPO (Organisasi Masyarakat Adat) berbicara tentang aspek hukum untuk memastikan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan. RINGO (Organisasi Riset dan NGO Independen) serta kelompok petani juga turut terlibat. Sedangkan konstituensi Perempuan dan Gender menyoroti isu terkait mineral kritis,” pungkas De Wel.
Sebagai informasi, sebelumnya Global Youth Statement (GYS) yang berisi ribuan orang muda dari lebih dari 150 negara menyerukan perubahan arah kebijakan iklim global menuju transisi energi yang adil, pendanaan tanpa utang, dan keterlibatan bermakna bagi kelompok muda serta masyarakat rentan. Mandat dari orang muda ini menyoroti tiga hal mendasar yang kini juga tercermin dalam mandat global:
- Transisi energi harus adil dan berpihak pada rakyat, bukan proyek elite yang memperpanjang ketergantungan pada batu bara dan industri ekstraktif.
- Pendanaan iklim tidak boleh berbasis utang yang membebani generasi muda, melainkan berbentuk hibah dan dukungan langsung bagi komunitas rentan.
- Serta partisipasi orang muda dan masyarakat adat harus diakui sebagai hak, bukan sekadar simbolik dalam forum kebijakan.
