Delegasi Indonesia Pamerkan Strategi Restorasi Mangrove di COP30

Image title
14 November 2025, 14:53
COP30
ANTARA FOTO/Ampelsa/rwa.
Seorang siswa menanaman bibit mangrove (Rhizophora mucronata) di kawasan pesisir desa Lampulo, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (25/10/2025). Gerakan menanam 1.000 bibit mangrove dengan semangat “Mangrove untuk bumi, energi muda untuk iklim" itu bertujuan untuk penghijauan dan pelestarian kawasan pesisiri itu dalam rangka menyambut peringatan Hari Sumpah Pemuda.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Delegasi Indonesia di COP30 memamerkan keberhasilan program rehabilitasi mangrove melalui pembiayaan inovatif dan pelibatan komunitas.

Ristianto Pribadi, Direktur Rehabilitasi Mangrove Kementerian Kehutanan, mengatakan rehabilitasi mangrove merupakan bagian dari nature based solution. Ia menyebut Indonesia memiliki 3,44 juta hektar hutan mangrove yang merepresentasikan 23% dari total mangrove global, Ini membuat Indonesia memiliki tanggung jawab ekologis sekaligus potensi besar untuk menjadikan restorasi ekosistem sebagai garda terdepan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

"Secara ekologis, mangrove berfungsi sebagai filter air alami yang efektif. Dua hingga lima hektar mangrove mampu menyaring polutan yang dihasilkan oleh satu hektar tambak ikan, menunjukkan peran vitalnya dalam menjaga kualitas air," ujar Ristianto,  saat menjadi pembicara di Paviliun Jepang di forum COP30 di Brasil, Jumat (14/11).

Ristianto mengungkapkan pilar utama kesuksesan program ini terletak pada adopsi skema pembiayaan dengan mengintegrasikan blended funds, mekanisme pendanaan iklim, dan kemitraan filantropi. Tujuannya adalah memastikan mekanisme pembiayaan cepat, fleksibel, dan multi-years. Selain itu, dibutuhkan juga pembiayaan berbasis hasil (performance-based) dan menjamin akses langsung bagi masyarakat lokal.

Guna menjamin keberlanjutan program, enam elemen mendasar harus dipenuhi. Pertama, pendanaan jangka panjang dan adaptif yang diinvestasikan dalam periode 5 hingga 7 tahun. Kedua, tata kelola multi-pihak yang efisien dalam koordinasi dan resolusi konflik.  Ketiga, integrasi ekonomi komunitas, yang secara langsung menghubungkan perbaikan mata pencaharian masyarakat dengan upaya restorasi. Keempat, manajemen adaptif berbasis sains untuk memastikan pengambilan keputusan didasarkan pada bukti dan data ilmiah. 

Kelima, kepastian hak atas lahan, yang krusial agar para pihak merasa aman dan percaya diri untuk berinvestasi pada lahannya. Keenam, berbagi pengetahuan, melalui penguatan kerjasama Selatan-Selatan dan pembangunan jaringan pembelajaran global.

“Keseluruhan upaya ini diperkuat oleh sinergi lima pemangku kepentingan utama: Kepemimpinan Pemerintah (regulasi dan standar), Mitra Internasional (pendanaan dan keahlian), Komunitas Lokal (implementasi dan pengetahuan tradisional), Lembaga Riset (monitoring dan evaluasi dampak), serta Organisasi Non-Pemerintah (NGO) (mobilisasi dan advokasi),” tandasnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nuzulia Nur Rahmah

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...