Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, Tujuan, Model, dan Prosedurnya
Dalam dunia perpajakan, istilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda termasuk istilah yang sangat dikenal, terutama terkait dengan transaksi internasional. Ini termasuk dalam perjanjian pajak antar negara, di mana Indonesia masuk di dalamnya.
Mengutip pajakku.com, perjanjian penghindaran pajak berganda dilakukan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara, dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda, dan untuk menarik investasi modal asing ke dalam negeri.
Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai tax treaty, ada baiknya mengetahui mengenai pajak berganda, terutama terkait bagaimana pajak berganda ini muncul.
Terjadinya Berganda
Mengutip atpetsi.or.id, pajak berganda terjadi ketika dalam suatu transaksi lintas batas negara, terdapat lebih dari satu negara yang mengklaim hak pemajakan berdasarkan salah satu faktor penghubung.
Faktor penghubung tersebut bisa atas dasar personal connecting factor atau objective connecting factor. Konflik antara jenis faktor penghubung ini, menyebabkan lebih dari satu negara diberikan klaim hak pemajakan atas suatu transaksi ekonomi yang sama.
Menurut sistem di banyak negara, klaim hak berdasarkan personal connecting factor menimbulkan klaim hak pemajakan terhadap penghasilan, baik yang bersumber di dalam daerah teritorial suatu negara, maupun yang bersumber dari luar negara (worldwide income principle).
Sebaliknya, klaim berdasarkan objective connecting factor, menimbulkan klaim hak pemajakan yang terbatas hanya terhadap penghasilan yang bersumber dari suatu negara (limited tax liability).
Konflik antara kedua faktor penghubung ini, umumnya disebut dengan residence-source conflict. Konflik tersebut merupakan salah satu contoh situasi di mana terjadinya pajak berganda.
Oleh karena itu, perlu adanya tax treaty, untuk menentukan alokasi dari hak pemajakan suatu transaksi yang terjadi diantara negara sumber dan negara domisili. Dimana negara sumber adalah negara dengan tempat sumber penghasilan berasal dan negara domisili adalah negara dengan tempat wajib pajak tinggal ataupun menetap.
Tujuan Tax Treaty
Mengutip online-pajak.com, perjanjian penghindaran pajak berganda dilakukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan yang timbul dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber, yakni negara sumber penghasilan, dan negara tempat wajib pajak tinggal atau negara domisili.
Ada lima tujuan utama dilaksanakannya tax treaty, antara lain:
1. Menghindari Timbulnya Pajak Berganda
Adanya tax treaty, menjadikan pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Sehingga, laba usaha yang dikenakan pajak adalah, negara tempat wajib pajak berkedudukan. Harapannya, dunia usaha bisa mendapatkan kepastian hukum karena membayar pajak hanya dikenakan pada satu kali, yaitu di negara domisili.
2. Meningkatkan Investasi
Tax treaty diharapkan dapat menarik negara luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab, jika investasi berupa bunga, dividen atau royalti dikenakan pajak yang tinggi, hal ini akan menimbulkan keraguan pada negara luar. Tentunya, ini dapat memperlambat pertumbuhan investasi modal di Indonesia dari luar negeri.
3. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Pembebasan pajak terhadap mahasiswa dan karyawan, di negara tempat menempuh pendidikan maupun pelatihan, akan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Adanya tax treaty mampu meningkatkan minat mahasiswa untuk menempuh pendidikan di negara yang telah melakukan perjanjian dengan Indonesia.
4. Pertukaran Informasi untuk Mencegah Pengelakan Pajak
Pertukaran informasi yang dimaksud adalah, kedua negara yang terlibat dalam tax treaty dapat mengetahui jika ada warga negara yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan, sehingga dapat dideteksi sedini mungkin.
Negara yang mengikat perjanjian, dapat melaporkan penghasilan penduduk di negara sumber. Misalnya, dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber. Informasi penghasilan tersebut, seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.
5. Menciptakan Kedudukan Setara dalam Pemajakan Antar Negara
Tax treaty mampu mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar negara. Ini dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan, serta tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha.
Model Tax Treaty
Setiap negara yang terlibat, dapat menyusun tax treaty sendiri berdasarkan model perjanjian yang diakui secara internasional. Tercatat ada dua model utama perjanjian penghindaran pajak berganda yang digunakan sebagai acuan.
1. Model OECD
Perjanjian penghindaran pajak berganda model OECD ini, disusun dan dikembangkan oleh komite yang dibentuk oleh negara-negara OECD khusus untuk memecahkan masalah-masalah perpajakan yang dihadapi kumpulan negara tersebut.
Model OECD bertujuan meningkatkan perdagangan antara negara-negara yang menandatangani tax treaty, dengan cara menghilangan pajak berganda secara internasional. Pada model ini, hak pemajakan diusahakan lebih banyak pada negara domisili. Karena itu, perumusan definisi dalam model ini umumnya lebih sempit ketimbang model tax treaty lainnya.
2. Model Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
Model tax treaty ini, berlatar belakang pergerakan PBB yang mulai memperbarui masalah kepentingan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda akibat tingginya arus modal dari negara maju ke negara berkembang. Untuk itu, PBB menerbitkan "The United Nations Model Double Taxation Convention Between Developed and Developing Countries", atau dikenal dengan nama Model PBB.
Model tax treaty dari PBB memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu meningkatkan investasi asing, serta sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara-negara berkembang. Berdasarkan tujuan ini, model tax treaty PBB menginginkan hak pemajakan lebih banyak di negara berpenghasilan, sehingga pada perumusan pasal-pasal, definisinya lebih luas ketimbang model OECD.
Kedua model ini, menjadi acuan yang digunakan oleh negara-negara yang akan melakukan perjanjian. Meski demikian, Indonesia memiliki model perjanjian penghindaran pajak berganda sendiri, yakni Model Indonesia. Model ini merupakan penggabungan dan pengembangan dua model utama, OECD dan PBB.
Tax Treaty di Indonesia
Pemerintah Indonesia terikat perjanjian penhindaran pajak berganda, yang dilakukan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tax treaty.
Mengutip pajak.go.id, melalui perjanjian ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra sesuai dengan ketentuan tax treaty yang berlaku.
Selain itu, DJP juga dapat meminta informasi kepada wajib pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan.
Tax treaty di Indonesia dilaksanakan melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure/MAP), yang dilakukan oleh DJP dan otoritas pajak negara atau yurisdiksi mitra tax treaty. Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh wajib pajak melalui DJP, otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra, dalam batas waktu pelaksanaan MAP.
Atas permohonan MAP, DJP berwenang untuk meneliti permintaan yang diajukan wajib pajak. Ini untuk menentukan, dapat atau tidaknya dilaksanakan MAP.
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan persetujuan bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan, tetapi tidak diajukan keberatan atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, DJP akan melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan.
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan persetujuan bersama setelah DJP menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, tetapi tidak diajukan banding atau Wajib Pajak mengajukan banding tetapi dicabut, DJP akan melakukan pembetulan atas Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan ketentuan.
Apabila pelaksanaan MAP dilakukan bersamaan dengan proses banding, dan sampai dengan putusan banding dikeluarkan namun pelaksanaan MAP belum menghasilkan persetujuan bersama, DJP akan menghentikan MAP.
Sementara, dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan persetujuan bersama, maka yang berlaku adalah surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali.
Syarat dan Penerapan Tax Treaty di Indonesia
Aturan yang mendasari tax treaty di Indonesia adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Dalam perjalanannya, apabila terdapat ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam tax treaty, maka yang berlaku tetap kebijakan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut.
Sementara, dalam proses pembentukan tax treaty, mulai dari proses pendekatan, perundingan, ratifikasi hingga pemberlakuannya, harus tunduk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Dalam Pasal 2 PER-15/PJ/2018, disebutkan wajib pajak luar negeri yang berhak menerima penghasilan dari Indonesia dengan memanfaatkan perjanjian penghindaran pajak berganda adalah sebagai berikut:
- Wajib pajak yang menerima penghasilan bukanlah subjek pajak dalam negeri Indonesia.
- Wajib pajak yang menerima penghasilan adalah subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra yang telah menyepakati tax treaty.
- Tidak terjadi penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty.
- Wajib pajak yang menerima penghasilan merupakan beneficial owner, sesuai dengan persyaratan dalam tax treaty.
Wajib pajak luar negeri atau WPLN yang telah memenuhi kriteria, seperti yang tertera pada Pasal 2 PER-15/PJ/2018, harus memiliki dan mengisi Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN)
Pengisiannya dilakukan dengan menggunakan Form DGT, yang diisi lengkap dan ditandangani oleh WPLN yang bersangkutan, serta telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra tax treaty.
Ini diperlukan, sebagai syarat dalam pemotongan/pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan tax treaty yang berlaku. Periode waktu untuk Surat Keterangan Domisili sebagai syarat pemotongan pajak bagi WPLN ini, hanya berlaku paling lama 12 bulan.
Sementara, pemotong atau pemungut pajak yang bertugas untuk memotong penghasilan dari WPLN wajib melaporkan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT).
Apabila pada perjalanannya WPLN tidak terdapat pajak penghasilan yang dipotong atau dipungut di Indonesia sesuai dengan ketentuan tax treaty, pemotong/pemungut pajak tetap wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh WPLN tersebut.
Kemudian, pemotong atau pemungut pajak juga harus menyampaikan tanda terima SDK WPLN, sebagai pengganti SDK WPLN. Ini dilampirkan dalam Surat Pembertitahuan Masa (SPT Masa), untuk masa terutang pajak bagi WPLN yang bersangkutan.