Mengenal Istilah TKI, Pengertian, Klasifikasi, dan Aspek Perpajakannya
Tidak sedikit warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri karena berbagai alasan. Warga negara yang bekerja di luar negeri, kerap disebut sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran Indonesia.
Terlepas dari segala stigma yang melekat pada TKI, mereka sendiri merupakan pahlawan devisa negara yang sumbangsihnya terhadap negara sangat besar. Sebutan pahlawan devisa disematkan, karena tidak sedikit TKI yang membawa kembali atau mengirimkan penghasilan mereka ke tanah air.
Hal ini setidaknya bisa ditunjukkan lewat uang yang dikirimkan melalui jasa remitansi. Berdasarkan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), pada 2021 jumlah remitansi oleh TKI tercatat mencapai US$ 9,16 miliar.
Jumlahnya memang menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 9,42 miliar. Namun, penurunan jumlah remitansi TKI disebabkan karena pandemi Covid-19, yang berlangsung sejak 2020, yang memicu pulangnya sejumlah pekerja migran Indonesia.
Jika tidak ada pandemi Covid-19, jumlah remitansi TKI tergolong tinggi dan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian. Tercatat pada 2018 dan 2019, jumlah remitansi TKI tercatat masing-masing sebesar US$ 10,97 miliar, dan US$ 11,43 miliar.
Nah, apa sebenarnya definisi dari TKI, dan seperti apa perlakuan perpajakan untuk para pekerja migran Indonesia ini? Simak ulasan singkat berikut ini.
Pengertian dan Klasifisikasi TKI
Sejatinya istilah TKI saat ini sudah tidak digunakan lagi dalam aturan atau ketentuan yang berlaku, dan diganti dengan istilah pekerja migran Indonesia. Namun, di tengah masyarakat istilah yang masih digunakan hingga saat ini adalah TKI.
Sebelumnya, definisi TKI sedikit banyak dijelaskan dalam Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dalam beleid tersebut, dijelaskan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Lebih lanjut, beleid ini juga menjelaskan definisi calon TKI, yakni setiap WNI yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja, yang akan bekerja di luar negeri, dan terdaftar di instansi pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
UU 39/2004 ini akhirnya dicabut dan diganti dengan UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam UU 18/2017, pekerja migran Indonesia diartikan sebagai setiap tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja, yang akan bekerja di luar negeri, dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/ kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Jika mencermati dua definsisi yang telah dijabarkan dalam UU 39/2004 dan UU 18/2017, maka sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan terkait pengertian antara TKI dan pekerja migran Indonesia.
Untuk klasifikasinya, TKI atau pekerja migran Indonesia terdiri dari tiga, antara lain:
- TKI atau pekerja migran Indonesia yang bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum.
- Pekerja yang bekerja pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga.
- Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.
Adapun, WNI yang berada di luar negeri tetapi tidak masuk dalam kategori pekerja migran, adalah sebagai berikut:
- WNI yang dikirim atau dipekerjakan oleh badan internasional, atau oleh negara di luar wilayahnya untuk menjalankan tugas resmi.
- Pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri.
- WNI yang berstatus pengungsi dan/atau pencari suaka.
- Penanam modal.
- Aparatur sipil negara (ASN), atau pegawai setempat yang bekerja di Perwakilan Republik Indonesia
- WNI yang bekerja pada institusi yang dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
- WNI yang mempunyai usaha mandiri di luar negeri.
Terhadap beberapa kategori ini, meski melakukan kegiatan kerja, dan mendapat penghasilan, tetap tidak termasuk dalam klasifikasi pekerja migran Indonesia atau TKI. Misalnya, pelajar asal Indonesia bekerja part time di negara tempat ia menuntut ilmu, dan mengirimkan uang ke Indonesia, tetap tidak masuk dalam statistik remitansi yang dilakukan TKI.
Aspek Perpajakan untuk TKI
Seperti halnya WNI yang memiliki penghasilan, TKI tetap dikenakan pajak. Namun, pengenaan pajak ini memiliki syarat tertentu. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) terkait dengan pembagian subjek pajak.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) dan (4) UU PPh, subjek pajak dibagi menjadi dua, yakni subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN).
Berdasarkan aturan yang berlaku, SPDN memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Orang pribadi bertempat tinggal di Indonesia, dan berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan, atau orang pribadi yang berada di Indonesia dalam satu tahun pajak, serta berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang berdiri atau berkedudukan di Indonesia, dengan pengecualian unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- Pembentukannya berdasarkan UU.
- Biaya untuk badan tersebut berasal dari APBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
- Penerimaannya masuk dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah.
- Pembukuan diperiksa apparat pengawasan fungsional negara.
Adapun, kriteria subjek pajak yang masuk dalam kategori SPLN, adalah sebagai berikut:
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, dan sudah lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan tidak berada di Indonesia. Badan yang tidak berdiri atau berkedudukan di Indonesia, yang menjalankan usahanya melalui bentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, dan berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Badan yang tidak berdiri, dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang menerima penghasilannya dari Indonesia tidak melalui usaha atau kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subjek pajak yang masuk kategori SPLN, apabila sumber penghasilan berasal dari luar Indonesia, maka tidak dikenakan PPh di Indonesia. Sebaliknya, jika sumber penghasilan berasal dari Indonesia, maka dikenakan PPh sesuai dengan UU perpajakan yang berlaku.
Sementara, bagi SPDN, jika sumber penghasilannya berasal dari luar Indonesia maupun dari dalam negeru, tetap akan dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Bagi TKI atau pekerja migran Indonesia, perlakuan perpajakannya mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-2/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri.
Berdasarkan Perdirjen Pajak No.PER-2/PJ/2009, TKI atau pekerja migran Indonesia masuk dalam kategori SPLN, sepanjang telah memenuhi syarat atau kriteria sebagai subjek pajak luar negeri. Artinya, terhadap penghasilan yang diperoleh oleh pekerja karena pekerjaannya di luar negeri, tidak dikenakan PPh di Indonesia.
Kesimpulannya, TKI atau pekerja migran Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan, selama memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Bekerja di luar negeri dan memperoleh penghasilannya di luar negeri.
- Berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam satu tahun.
- Sumber penghasilannya berasal dari luar negeri.
- Penghasilan miliknya sudah dikenakan pajak di negeri tempat TKI bekerja.