Terkait Vonis Hukuman Mati Sambo, Ini 13 Perbedaan KUHP Lama dan Baru
Pada Senin (13/2), Mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Dalam putusannya, hakim menyebut Ferdy Sambo terbukti melakukan perencanaan pembunuhan yang menyebabkan hilangnya nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Majelis hakim menjerat Ferdy Sambo dengan dua pasal berbeda. Dalam perkara pembunuhan Brigadir J, ia dinyatakan terbukti melanggar pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan dalam perkara rekayasa pengusutan kasus, ia dijerat pasal 49 juncto pasal 33 Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Namun, vonis hukuman mati ini tidak serta-merta langsung dilakukan, meski ketika mengajukan banding nantinya menghasilkan vonis yang sama. Sebab, ada kemungkinan hukumannya berubah menjadi seumur hidup.
Ini merupakan konsekuensi adanya disahkannya KUHP baru, di mana terpidana hukuman mati diberikan masa percobaan selama 10 tahun. Jangka waktu 10 tahun tersebut diberikan, untuk melihat apakah terpidana menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri.
Perlakuan terhadap vonis hukuman mati ini bukan satu-satunya pembeda antara KUHP baru dengan sebelumnya. Tercatat ada sejumlah hal yang membedakan antara KUHP lama dengan baru. Berikut ulasan selengkapnya.
Sekilas tentang KUHP Baru
Seperti diketahui pada 2 Januari 2023, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. UU ini akan mulai berlaku pada 2026 atau tiga tahun usai diundangkan.
KUHP ini telah disetujui Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 6 Desember 2022. Dalam poin b UU Nomor 1, KUHP ini akan menggantikan aturan lama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
"Hukum pidana tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara," demikian bunyi poin b KUHP baru.
Kemudian, poin c aturan tersebut menyatakan hukum pidana nasional harus mengatur keseimbangan kepentingan umum dan kepentingan individu.
KUHP juga harus mengatur keseimbangan antara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, hingga antara kepastian hukum dengan keadilan, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.
Dalam konferensi pers terkait KUHP Baru yang digelar 12 Desember 2022, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan, KUHP lama sudah jauh tertinggal dan tidak relevan dengan hukum modern saat ini.
Ia menjelaskan, KUHP baru telah berorientasi pada paradigma hukum modern, yang tidak lagi menekankan pada pembalasan. Melainkan pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Perbedaan KUHP Lama dan Baru
Seperti telah disebutkan sebelumnya, KUHP baru memuat beberapa poin yang mengubah aturan lama atau KUHP lama, yang merupakan warisan era kolonial Hindia Belanda.
Mengutip dokterlaw.com, tercatat ada 13 perbedaan yang mencolok antara KUHP lama dan baru. Secara perinci, 13 perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut.
KUHP Lama | KUHP Baru |
Terdiri dari 3 (tiga) Buku: Ketentuan Umum, Kejahatan dan Pelanggaran | Terdiri dari 2 (dua) Buku: Ketentuan Umum dan Tindak Pidana |
Ada perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran | Tidak ada perbedaan Kejahatan dan Pelanggaran |
Penafsiran diserahkan pada hakim berdasarkan doktrin hukum pidana | Penafsiran analogi tidak diperbolehkan berdasarkan pasal 1 ayat (2) |
Penentuan Locus Delicti (tempat terjadinya tindak pidana) & Locus Delicti (waktu terjadinya tindak pidana) diserahkan pada hakim berdasarkan doktrin hukum pidana | Tempat Tindak Pidana merupakan tempat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana Waktu tindak pidana merupakan saat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana |
Pertanggungjawaban Pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault) | Pertanggung jawaban pidana yang ketat (strict liability) dan pertanggungjawaban pidana pengganti. Pasal 39 “Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual drajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan” |
Tidak dipisahkannya alasan pengahapus pidana (strafuitsluitingsgronden) | Memisahkan secara tegas adanya alasan pemaaf pada Pasal 37-47 Alasan pembenar pada Pasal 32-36 |
Mengatur alasan peringan pidana | Memperluas jenis alasan peringan pidana bagi pelaku dengan kualifikasi tertentu. Pasal 139-143 |
Mengatur alasan gugurnya kewenangan melakukan penuntutan | Adanya perubahan pada alasan gugurnya kewenangan melakukan penuntutan. Pasal 152 |
Tidak mengatur delik adat | Delik adat merupakan bagian dari tindak pidana, walaupun tindakan yang dilakukan tidak diatur dalam KUHP. Pasal 2 |
Manusia sebagai subyek hukum (natural person) | Manusia dan koorporasi sebagai subyek hukum pidana, baik yang berbadan hukum maupun tidak. Pasal 48-54 |
Tidak ada pidana kerja sosial | Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana paling banyak kategori II. |
Jumlah pidana denda dimasukan kedalam rumusan pasal | Jumlah pidana denda tidak dirumuskan kedalam Pasal-Pasal tetapi dirumuskan kedalam kategori Pasal 79. Pidana Denda paling banyak ditetapkan berdasarkan : a. Kategori I: Rp 1.000.000 b. Kategori II: Rp 10.000.000 c. Kategori III: Rp 50.000.000 d. Kategori IV: Rp 200.000.000 e. Kategori V: Rp 500.000.000 f. Kategor VI: Rp 2.000.000.000 g. Kategori VI: Rp 5.000.000.000 h. Kategori VIII: Rp 50.000.000.000 |
Pidana mati sebagai pidana pokok | Pidana mati dirumuskan sebagai pidana “istimewa” yang pelaksanaannya dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun apabila terpidana “berkelakuan baik” maka pidana mati dapat dikonjungsi atau diubah menjadi tindak pidana penjara seumur hidup. Pasal 100 |
Demikianlah perbedaan antara KUHP lama dengan KUHP baru, yang telah disahkan pada 2 Januri 2023 oleh Presiden Joko Widodo. Aturan ini menggantikan aturan hukum pidana sebelumnya yang telah digunakan selama klurang lebih 104 tahun.