Thudong, Laku Meditatif dari Vihara Kerajaan Sriwijaya ke Borobudur
Para biksu yang menjalani ritual Thudong mengakhiri perjalanannya Kamis (1/5) di Catra Jinadhammo Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Kedatangan para biksu disambut Camat Borobudur Subiyanto, Kapolresta Magelang Kombes Rurus Wicaksono dan Kapolres Magelang Kota yang ikut berjalan kaki dari Mapolresta Magelang.
Mengutip Antara, Camat Borobudur, Subiyanto, menyampaikan harapan agar semangat para biksu untuk menyelesaikan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 2.650 kilometer, dapat menjalar ke masyarakat yang tinggal di sekitar Borobudur. "Semangat keikhlasan, semangat yang penuh ketabahan," kata dia.
Ketua Thudong Internasional Welly Widadi menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang memastikan kelancaran dan keselamatan perjalanan para biksu. "Ini adalah perjuangan yang tidak mudah, para biksu ini begitu luar biasa dan kesehatannya pun masih terjaga dengan baik," kata dia.
Welly juga menyampaikan apresiasi kepada Panglima Laskar Abu Macan Ali, Prabudias, yang mengawal perjalanan para biksu mulai dari Thailand, Malaysia, Singapura, sampai ke Indonesia. "Beliau ini seorang Muslim tetapi toleransinya luar biasa. Beliau sangat menjaga dan mengawal biksu jangan sampai tersentuh siapa pun, benar-benar bertanggung jawab menjaga para biksu untuk bisa selamat sampai Candi Borobudur," kata dia.
Sebelum sampai di Indonesia, para biksu ini melalui negara Malaysia, Singapura dan tiba di Batam pada 8 Mei 2023. Para biksu yang melakoni ritual Thudong berasal dari Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Ritual Para Bhante Menuju Candi Borobudur yang Dimulai dari Vihara Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Perjalanan 32 bhante atau biksu melakoni ritual Thodung menuju Candi Borobudur dimulai dari sebuah vihara peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Nakhon Si Thammarat di Thailand. Nakhon Si Thammarat merupakan provinsi tertua di Thailand yang terletak di wilayah selatan negara Gajah Putih itu.
Di provinsi itu terdapat Wat Phra Mahathat Woramahawihan, yang dikenal sebagai Wat Phra Borommathat, salah satu vihara tertua di Thailand yang didirikan pada abad ke-8 oleh Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai tempat penyimpanan relik Buddha.
Vihara ini menjadi semacam simbol perjalanan penyebaran agama Buddha dari Sriwijaya ke Thailand. Selain Wat Phra Mahathat Woramahawihan, Kerajaan Sriwijaya juga meninggalkan vihara lain seperti Wat Phra Narai Maharat, Wat Chedi, Wat Khao Khun Phanom, dan Wat Nantharam yang dibangun di Nakhon Si Thammarat.
Pada 23 Maret 2023, sebanyak 32 bhante melakoni ritual Thudong yang dimulai dari Wat Phra Mahathat Woramahawihan. Ritual spiritual yang dijalani dengan berjalan kaki sejauh 2.650 kilometer ini berakhir di Candi Borobudur yang kemudian dilanjutkan dengan perayaan Waisak pada 4 Juni 2023.
Pengembaraan dalam Ritual Thudong untuk Menghindari Tiga Dosa Utama
Selain untuk merefleksikan jejak perjalanan Sang Buddha, ritual Thudong dilakukan untuk merenungi ajaran-ajaran Sang Buddha dan merefleksikan penyebaran ajarannya. Thudong merupakan dalam ritual keagamaan dalam tradisi Buddhisme Theravada yang melibatkan perjalanan ke tempat-tempat suci.
Buddhisme Theravada tersebar di beberapa negara seperti Sri Lanka, Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Myanmar. Dalam bahasa Pali, Thudong berasal dari kata 'Dhutanga' yang berarti latihan keras.
Latihan ini dilakukan sebagai bentuk menjalani perintah Sang Buddha, yang meliputi 13 praktik pertapaan, yang berarti bhante harus menyatu dengan alam untuk mencapai fase meditatif.
Thudong juga dapat diartikan sebagai kehidupan mengembara, bertapa, menyendiri, dan meditatif untuk mencari pemahaman lebih dalam tentang ajaran Buddha. Perjalanan menuju tempat-tempat suci itu sekaligus untuk membersihkan pikiran dan hati para pelaku Thudong.
Ritual Thudong sudah berjalan selama ribuan tahun, seusia perjalanan Sang Buddha menyebarkan ajaran kebajikannya. Di masa itu, belum ada vihara dan tempat tinggal permanen untuk para biksu.
Thudong dilaksanakan dengan cara berjalan kaki sambil melakukan perenungan. Sebelum melakukan perjalanan, para biksu harus berdiam diri di suatu tempat dan berpuasa selama empat bulan selama musim hujan.
Bila sudah memasuki musim kemarau atau musim semi, Thudong baru dilaksanakan. Di masa itu, mereka tinggal di gua, gunung, dan hutan yang dianggap tempat-tempat suci untuk beristirahat sekaligus merenung.
"Jadi dalam setahun mereka akan berjalan seperti ini selama empat bulan untuk melaksanakan tradisi ini. Kebetulan karena di Indonesia ada Candi Borobudur, bertepatan Hari Raya Waisak dan mereka jalan dari Thailand," terang Bhante Dhammavuddho, dikutip dari laman resmi Ditjen Bimas Buddha Kemenag.
Selama perjalanan, para bhante yang sudah mengambil sumpah untuk menjalani hidup sebagai biksu pengembara atau biksu Aranyaka, tidak membawa bekal apapun dan hanya mengenakan jubah biksu, kaos kaki, dan sandal. Mereka mengandalkan dukungan masyarakat, terutama umat Buddha selama perjalanan.
Saat melakukan ritual itu para biksu berupaya mencapai tujuan terhindar dari tiga dosa utama yaitu keinginan duniawi, kemarahan, dan kebodohan.