Sudah Masuk Indonesia Sejak Maret, Apa Itu Subvarian Covid Eris?
Inggris melaporkan tingginya penularan Covid-19 sejak akhir Juli lalu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan subvarian baru EG.5.1. sebagai faktor penyebab peningkatan kasus tersebut. EG.5.1 adalah hasil evolusi mutasi XBB.1.9.2 yang juga subvarian Omicron.
T. Ryan Gregory, Profesor Biologi Integratif di University of Guelph, Kanada, menjadi yang pertama menetapkan nama panggilan subvarian ini: Eris. Nama Eris bakal dipakai untuk setiap covid subvarian EG.5.1, payung besar yang membawahi subvarian EG.5.
Looks like we're going to be talking about EG.5.1 a fair bit as it is increasing significantly in many places. To aid communication about it, we're going with the nickname "Eris" for EG.5.1*.
Note that nickname ≠ expected to cause a big wave by itself.— T. Ryan Gregory (@TRyanGregory)
WHO menetapkan Eris dalam klasifikasi Variant Under Monitoring (VUM) pada 19 Juli lalu. Artinya, varian ini mulai diawasi karena penyebarannya luas dan meningkatkan angka kasus Covid-19 di berbagai negara.
Melansir UK Health Security Agency, Eris duduk di posisi kedua sebagai varian paling banyak menginfeksi warga Inggris, mengalahkan Arcturus (XBB.1.16) yang terdeteksi Mei lalu.
Laman resmi pemerintah Inggris memaparkan kenaikan 27,8% jumlah kasus positif Covid-19 di negara itu, dari rentang 22–29 Juli 2023. Di selang waktu yang sama, jumlah pasien yang dirawat ikut meningkat 40,7%.
Sudah Ditemukan di Indonesia
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan Eris adalah salah satu subvarian yang berkembang dari Omicron. Dalam pengamatan Dicky, subvarian terbaru ini sudah lama masuk ke Indonesia. Hingga kini, subvarian itu sudah menyebar di 36 negara.
“Sampel pertama di Indonesia itu paling awal tercatat di Jakarta pada awal Maret. Artinya Indonesia melakukan sistem deteksi dan melaporkan, kami apresiasi,” kata Dicky dalam pernyataan yang diterima Katadata, Selasa, (8/8).
Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, bilang sejauh ini pemerintah belum menemukan varian Eris di Tanah Air.
“Belum terlaporkan sampai saat ini,” katanya, dilansir dari CNBC Indonesia.
WHO sebelumnya sudah menetapkan status under monitoring yang berarti masih diawasi untuk penyebaran Eris. Status tersebut masih di bawah variant of concern, artinya varian tersebut meningkatkan penularan hingga kematian. Oleh sebab itu, menurut Dicky, dampak keparahan kematian subvarian ini masih belum besar.
Meski menjadi subvarian baru, Dicky menjelaskan masyarakat tidak perlu khawatir karena tidak ada perbedaan yang signifikan dengan subvarian sebelumnya. Bahkan sebagian besar gejala tidak ada demam dan hilangnya penciuman.
“Ini artinya vaksin dan booster masih efektif dan perlu,” ujarnya.
Lebih lanjut Dicky menghimbau masyarakat untuk tetap mencegah penularan di kelompok lanjut usia. Sebagai contoh, ia merujuk kondisi rumah sakit di Eropa yang mengalami peningkatan kasus rawatan pada kelompok lanjut usia. Beberapa hal yang Dicky anjurkan adalah menggunakan masker ke fasilitas kesehatan, panti jompo, hingga saat mengunjungi rumah orang tua.
“Sejauh ini masyarakat tidak perlu panik. Secara umum, subvarian ini punya potensi menjadi dominan di Indonesia. Tapi kalau menyebabkan dampak serius, saya belum melihat itu,” kata Dicky.