Kejelian Dr. Boen Mengantarkan Kalbe Farma Merajai Industri Farmasi
Selalu ada hikmah di balik setiap bencana. Begitulah yang dirasakan oleh PT Kalbe Farma. Pada medio Desember 2019, empat bulan sebelum kasus Covid-19 pertama diumumkan di Indonesia, saham emiten berkode KLBF itu terjun bebas. Sempat menyentuh Rp 1.645 pada 16 Desember 2019, harga saham Kalbe terus terkoreksi hingga terjerembab ke level Rp 865 per saham pada 25 Maret 2020.
Kinerja Kalbe Farma di pasar modal mulai konsisten membaik sejak awal April 2020, seiring dengan penambahan jumlah kasus Covid-19 di Tanah Air. Produk suplemen dan multivitamin milik perusahaan laris manis di pasaran. Konsumen yang mulai khawatir terpapar virus menyerbu produk-produk kesehatan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Kendati demikian, tidak semua divisi Kalbe Farma berkinerja moncer. Permintaan obat resep menurun sebab banyak rumah sakit fokus pada penanganan pasien Covid-19. Hal serupa juga dialami oleh divisi minuman yang terkena imbas penutupan sekolah-sekolah dan tempat rekreasi.
Ketika banyak perusahaan lain merugi akibat pandemi, PT Kalbe Farma Tbk. sukses menutup tahun 2020 dengan kinerja solid. Penjualan tumbuh 2,12 % dari Rp 22,63 triliun di 2019 menjadi Rp 23,11 triliun di 2020. Laba bersih perseroan meningkat 9,05 % dari Rp 2,5 triliun pada 2019 menjadi Rp 2,7 triliun di 2020.
Jeli Melihat Peluang
Kinerja solid Kalbe Farma di 2020 terus berlanjut hingga paruh pertama tahun ini. Pendapatan perusahaan meningkat 6,6 % menjadi Rp 12,37 triliun pada semester pertama 2021 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 11,6 triliun. Begitu pula dengan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk yang mencapai Rp 1,49 triliun atau naik 7,93 % dari Rp 1,38 triliun pada periode 2020.
Kinerja moncer KLBF tidak lepas dari kejelian perusahaan melihat peluang di tengah pandemi. Kalbe Farma menjadi salah satu entitas bisnis pertama yang mempelopori tes PCR dan rapid antigen bagi penderita Covid-19.
Meskipun permintaan obat resep merosot, Kalbe menyiasatinya dengan menggenjot penjualan di sektor suplemen dan multivitamin. Kalbe juga ikut ambil bagian dalam distribusi obat-obatan untuk pasien Covid-19, terutama jenis remdesivir.
Pada awal Juli 2021, Kalbe akhirnya mengantongi persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan uji klinik tahap 2b/3 untuk vaksin Covid-19 GX-19N di Indonesia. Ini merupakan vaksin yang dikembangkan oleh konsorsium Genexine, Binex, the International Vaccine Institute(IVI), GenNBio, the Korea Advanced Institute of Science & Technology (KAIST), and Pohang University of Science & Technology (POSTECH). Genexine sudah menjalin kerja sama pengembangan vaksin dengan Kalbe Farma sejak 2020.
“Kami sudah mempelajari DNA vaksin GX-19N dari Genexine, dan terlihat vaksin ini memiliki potensi yang sangat baik untuk memberikan proteksi terhadap berbagai varian virus COVID-19 dan kemungkinan jangka waktu proteksi yang lebih lama,” ujar Iris Rengganis, Ketua Tim Peneliti uji klinik vaksin COVID-19 GX-19N pada 9 Juli 2021.
Kendati membukukan kinerja solid, performa saham Kalbe di pasar modal justru fluktuatif. Hal ini membuat perusahaan memutuskan untuk membeli saham kembali (buyback) senilai Rp250 miliar.
Presiden Direktur Kalbe Farma menjelaskan perusahaan akan melakukan buyback mulai 20 Agustus 2021 hingga 19 November 2021. Dana yang digunakan berasal dari kas internal sehingga perusahaan percaya diri tidak akan berdampak signifikan terhadap pendapatan.
"Pembelian kembali saham juga memberikan fleksibilitas kepada perseroan dalam mengelola modal jangka panjang karena saham treasuri bisa dijual di masa depan dengan nilai yang optimal ketika perseroan memerlukan penambahan modal," ujar Vidjongtius dalam keterangan resmi, 23 Agustus 2021.
Sejarah Kalbe Farma di Tangan Dr. Boen
Kalbe Farma menempuh perjalanan panjang sebelum menjadi raksasa farmasi di Asia Tenggara. Kesuksesannya tidak terlepas dari kejelian Boenjamin Setiawan yang mendirikan Kalbe pada 10 September 1966.
Boenjamin Setiawan adalah contoh bagaimana seorang akademisi tulen sukses menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Ia mengenyam pendidikan dokter di Universitas Indonesia lantas melanjutkan studi di Amerika Serikat dan membawa pulang gelar Ph.d di bidang farmakologi dari University of California. Tak heran, pria dengan nama asli Khou Liep Boen ini akrab disapa Dr. Boen.
Dr. Boen muda yang baru pulang dari Amerika Serikat melihat peluang besar di bisnis farmasi. Dengan dibantu lima orang saudaranya; Khouw Lip Tjoen, Khouw Lip Hiang, Khouw Lip Swan, Maria Karmila, dan F. Bing Aryanto, ia menggunakan sepetak garasi tua untuk operasional perusahaan.
Latar belakang keilmuan yang ia miliki membantu Dr. Boen merancang strategi bisnis di awal berdirinya Kalbe. Ia jeli melihat kebutuhan obat murah di Indonesia. Sebagai akademisi, Dr. Boen menyadari betul pentingnya riset di industri farmasi. Sesuatu yang masih sangat mewah di Indonesia era 1960-an. Saat ini riset dan pengembangan menjadi tulang punggung kesuksesan Kalbe Farma.
Lima tahun setelah resmi berdiri, Kalbe akhirnya membangun pabrik pertamanya di Pulomas, Jakarta Timur. Lini bisnisnya mulai merentang luas. Mulai dari obat-obatan, baik obat resep maupun obat bebas (over the counter/OTC), makanan sehat, hingga distribusi.
Salah satu terobosan penting Kalbe terjadi pada 1985 ketika perusahaan mengakuisisi PT Bintang Toedjoe. Perusahaan ini langsung melejit dengan berbagai produk seperti Puyer 16 yang digandrungi masyarakat. Extrajoss, salah satu produk legendaris Bintang Toedjoe diluncurkan pada 14 Agustus 1994 dan langsung merajai pasar minuman berenergi.
Konon, kata ‘joss’ diambil dari dialek orang Jawa Timuran yang terkenal blak-blakan. Tak heran jika peluncuran pertama Extrajoss dilakukan di Malang dan Surabaya. Strategi pemasaran ini terbukti sukses besar. Saat awal-awal diluncurkan, Ekstrajoss laris manis hingga sempat terjadi kelangkaan stok.
Pada era 1990-an, produk-produk OTC Kalbe tenar di pasar. Merek-merek seperti Komix, Mixagrip, dan Promag sudah diakrabi masyarakat. Ketika perusahaan melantai bursa pada 30 Juli 1991, saham Kalbe pun diburu investor. Kala itu Kalbe melepas 10 juta lembar saham seharga Rp7.800 per lembar dan sukses meraup Rp78 miliar.
Kalbe Farma Dihantam Krisis
Perjalanan Kalbe Farma bukan tanpa hambatan. Krisis ekonomi 1998 memberikan dampak besar bagi perusahaan. Industri yang sangat bergantung pada impor bahan baku obat ini sangat terpukul dengan jatuhnya nilai tukar rupiah. Belum lagi tagihan utang luar negeri yang ikut menggunung akibat kenaikan nilai tukar.
Dilansir dari Kontan, Kalbe harus melakukan serangkaian efisiensi demi menyelamatkan 1.000 lebih karyawannya. Perusahaan misalnya mulai mengatur penggunaan kertas, air, dan pendingin ruangan. Soal utang, Kalbe mengundang 35 bank guna memaparkan kondisi keuangan dan meminta restrukturisasi. “Tak ada pilihan, kami harus bertahan agar hidup," ujar Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius.
Konsolidasi juga dilakukan dengan melakukan divestasi terhadap beberapa anak usaha yang tidak produktif. Sebagai gantinya, perusahaan memperkuat bisnis inti dengan mengakuisisi produk obat batuk Woods dan melanjutkan ekspansi pabrik susu Kalbe Morinaga. Serangkaian strategi ini terbukti ampuh. Kalbe lolos dari lubang jarum krisis dan mulai menjadi pemimpin pasar farmasi di Indonesia.
Pada 2015, Kalbe kembali menghadapi tantangan serius. Kali ini datangnya dari regulator dan kepercayaan masyarakat. Ini bermula dari kasus meninggalnya dua orang pasien Rumah Sakit Siloam Tangerang pada 12 Februari 2015. Pihak rumah sakit mengklaim obat anestesi yang diproduksi Kalbe Farma; Buvanest Spinal 0,5% Heavy 4ml dan Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml menjadi penyebabnya.
Kasus ini menyita perhatian masyarakat luas. Regulator bergerak cepat dengan memerintahkan Kalbe menarik kedua obat tersebut. Lini produksi pabrik perusahaan juga sempat dihentikan menyusul serangkaian investigasi yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Secara bisnis, penarikan kedua obat bius ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kontribusi keduanya sangat kecil terhadap pendapatan konsolidasi. Namun, kepercayaan investor dipertaruhkan.
Saham Kalbe langsung terkoreksi dalam beberapa hari. Belakangan, investigasi BPOM menyimpulkan Kalbe Farma lalai memberikan label terhadap obat tersebut. Kalbe menerima keputusan tersebut dan melanjutkan bisnis seperti biasa.
Fundamental perusahaan yang kokoh terbukti ampuh menahan sentimen pasar. Perlahan, saham Kalbe kembali bergeliat. Kinerja pendapatan dan laba juga terus membaik. Saat ini, Kalbe Farma memiliki empat divisi bisnis; obat resep, produk kesehatan, nutrisi, serta distribusi dan logistik. Sebagian besar saham Kalbe (42,73 %) dimiliki oleh masyarakat. Adapun sisanya dipegang oleh enam perusahaan berbeda dengan kepemilikan 9 - 10 %.
Dengan kapitalisasi pasar di atas Rp 70 triliun, Kalbe Farma kini menjadi perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara. Kinerja moncer perusahaan mengantarkan sang pendiri Boenjamin Setiawan menjadi orang terkaya nomor 8 versi Majalah Forbes dengan total kekayaan US$4,1 miliar pada 2020.