Pertarungan Unilever Menghadapai Pandemi
Produk keluaran PT Unilever Indonesia Tbk begitu rekat dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Sebagian besar dari Anda mungkin pernah mengonsumsi margarin Blue Band atau mandi menggunakan sabun Lux. Es krim Wall's tentu juga akrab bagi anak-anak. Begitu pula teh Sari Wangi yang kerap diseduh jutaan keluarga.
Dilansir dari situs resmi perusahaan, Unilever sudah memasarkan Blue Band dan Lux sejak 1936. Selang 54 tahun kemudian, tepatnya pada 1990, Unilever mengakuisisi perusahaan teh Sari Wangi. Di tahun yang sama, perusahaan consumer tersebut mendirikan pabrik produk perawatan rambut di Rungkut, Surabaya.
Dua tahun berselang, Unilever membuka pabrik es krim Wall’s di Cikarang, kemudian menawarkan produk Conello dan Paddle Pop. Perusahaan ini kemudian memulai bisnis kecap dengan mengakuisisi merek Bango pada 2001.
Hingga kini, Unilever telah memiliki sembilan pabrik dengan 5000 karyawan di seluruh Indonesia. Pabrik ini memproduksi 42 merek kebutuhan rumah tangga dan perawatan tubuh (Home and Personal Care/HPC) serta makanan dan minuman. Kontribusi HPC terhadap total pendapatan Unilever sekitar 70 %, sedangkan produk makanan dan minuman menyumbang 30 %.
Unilever mampu memenuhi 1000 stock keeping unit (SKU) kebutuhan masyarakat Indonesia dengan 100 % penetrasi. Artinya, 1 produk Unilever setidaknya ada di setiap rumah tangga masyarakat Indonesia.
Namun, luasnya penetrasi pasar tak menjamin kinerja perusahaan bisa selalu cuan. Terutama saat pandemi Covid-19 saat ini. Pagebluk tersebut telah menekan bisnis banyak sektor di Tanah Air, termasuk bisnis konsumen milik Unilever.
Presiden Direktur Unilever Ira Novianti menjelaskan pada 2020 dan 2021 pasar terkontraksi yang menyebabkan kemampuan daya beli dan level konsumsi menurun. “Ini membuat Unilever memiliki tanggung jawab untuk merangsang pertumbuhan pasar dan menstimulasi konsumsi melalui inovasi lewat dukungan teknologi,” kata Ira dalam paparan publik Unilever, September lalu.
Walau demikian, berdasarkan paparan tersebut, Unilever memimpin pasar middle segment. Perusahaan pun berencana untuk memperkaya dan memperluas portfolio foootprint dengan memperkuat premium segment.
Ke depan, segmen premium dipilih karena ada percepatan konsumen di kelas menengah ke atas pada dua hingga tiga tahun berikutnya. Tidak hanya di premium segment, Unilever juga ingin menyasar value segment melalui brand-brand yang sudah ada dan besar sebelumnya. “Untuk memastikan portofolio kami dapat menjadi lebih kaya dibandingkan sebelumnya,” ujar Ira.
Dividen Unilever di Tengah Kinerja yang Masih Lesu Diterpa Pandemi
Pada 16 Desember 2021, emiten dengan kode saham UNVR itu akan membagikan dividen interim. Nilai totalnya Rp 2,5 triliun untuk tahun buku yang berakhir 31 Desember 2021. Dividen sendiri merupakan aksi pembagian laba untuk pemegang saham berdasarkan jumlah kepemilikan masing-masing investor.
Unilever akan membagikan dividen kepada pemilik dari 38,1 miliar saham UNVR senilai Rp 66 per lembar saham. Dana yang akan dibagikan ini berasal dari laba bersih perseroan untuk periode yang berakhir pada 30 Juni 2021.
Berdasarkan laporan keuangan hingga kurtal ketiga 2021, Unilever membukukan laba turun 22,4 % menjadi Rp 4,37 triliun. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di mana laba masih bertengger di angka Rp 5,43 triliun.
Penurunan laba terjadi seiring lesunya penjualan Unilever dalam sembilan bulan pertama tahun ini. Tercatat penjualan bersih berkurang 7,4 % menjadi Rp 30 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 32,4 triliun.
Kontribusi terbanyak datang dari penjualan dalam negeri 95,6 % atau sekitar Rp 28,7 triliun. Sedangkan sisanya berasal dari penjualan luar negeri alias ekspor 4,3 % atau setara Rp 1,3 triliun. Unilever Indonesia juga menawarkan 42 brand yang terdiri dari 28 brand HPC dan 14 produk makanan dan minuman.
Segmen penjualan produk HPC masih mendominasi penjualan Unilever hingga September 2021. Kontribusi HPC terhadap total penjualan Unilever sekitar 66,7 % atau setara Rp 20 triliun. Beberapa merek produk HPC di bawah naungan Unilever antara lain Zwitsal, Pepsodent, Molto, Sahaja, Pond’s, dan Love Beauty and Planet.
Sementara untuk produk makanan dan minuman berkontribusi 33 % atau Rp 9,9 triliun terhadap total penjualan Unilever dalam sembilan bulan pertama 2021. Produk makanan dan minuman yang banyak digunakan masyarakat Indonesia di antaranya Royco, Buavita, Cornetto, Sari Wangi, Bango, dan Lipton.
Beberapa upaya juga dilakukan Unilever dalam menjaga kas perusahaan dari dampak pandemi Covid-19. Salah satu cara yang ditempuh yakni menekan biaya, baik dari harga pokok penjualan, juga beban pemasaran.
Unilever memangkas 4,86 % biaya pemasarannya dari Rp 6,5 triliun di September 2020 menjadi Rp 6,2 triliiun di September 2021. Selain itu, harga pokok penjualan juga diturunkan sekitar 4,% dari Rp 15,5 triliun menjadi Rp 14,9 triliun.
Saham Merah Unilever
Kinerja perusahaan yang terdampak Covid-19 turut menekan pergerakan harga saham UNVR. Berdasarkan RTI Business, harga saham UNVR diketahui masih bertengger di zona merah dalam setahun terakhir. Secara year to date (ytd) harga saham sektor konsumsi ini sudah merosot 34,42 %. Namun, dalam tiga bulan terakhir, pergerakannya mulai membaik dengan penguatan 15,6 % di level Rp 4.820 per saham, Kamis (25/11).
Saham UNVR pertama kali ditawarkan kepada publik melalui initial public offering (IPO) pada 1982. Kala itu, saham Unilever dihargai Rp 3.175 per saham. Sebanyak 15 % sahamnya atau sekitar 9,2 juta lembar saham ditawarkan kepada publik.
Adapun komposisi kepemilikan saham Unilever saat ini sebagian besar dikuasai Unilever Indonesia Holding B. V. sebesar 84,9 % atau sebanyak 32,4 miliar saham. Sedangkan porsi kepemilikan masyarakat sekitar 15 % atau sebanyak 5,7 miliar saham.