Metrodata, Perusahaan Teknologi Ciputra Tumbuh dari Bisnis Alat Tulis
Pandemi berhasil menyuburkan lahan bisnis industri teknologi, baik di perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Angin segar ini sampai ke perusahaan teknologi informasi dalam naungan Grup Ciputra, Metrodata Electronics.
Tak berbeda jauh dengan bisnis Grup Ciputra di bidang properti yang mencatatkan kinerja positif 2021, Metrodata juga memperoleh keuntungan sepanjang tahun lalu. PT Ciputra Development Tbk (CTRA), misalnya, hingga September 2021 sukses mengeruk laba bersih naik 337 % (year on year) menjadi Rp 1,01 triliun.
Di sisi lain, dengan pengalaman lebih dari empat dekade, Metrodata juga memperoleh pendapatan Rp 12,13 triliun di kuartal ketiga 2021. Angka ini naik 20,9 % dari pendapatan di periode yang sama tahun 2020, yaitu Rp 10,03 triliun. Laba perusahaan dengan kode emiten MTDL tersebut juga naik 31,3 % yoy atau Rp 351,4 miliar.
Empat Dekade Metrodata di Bidang IT
Kiprah grup Metrodata dimulai pada 25 April 1975, berawal dari bisnis alat tulis serta kertas printer continuous form. Perusahaan resmi didirikan pada 17 Februari 1983 dengan nama PT Sarana Hitech Sytems, sebelum kemudian berubah nama menjadi PT Metrodata Epsindo pada 10 Oktober 1989.
Setahun kemudian, perusahaan memutuskan untuk menjadi perusahaan terbuka dan mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode MTDL. Per 28 Maret 1991, nama perusahaan berubah menjadi Metrodata Electronics seperti yang kita kenal sekarang. Sejak saat itu, perusahaan gencar memperluas lini bisnis dengan membangun anak perusahaan.
Tujuh Anak Perusahaan Metrodata
Sebagai perusahaan informasi dan teknologi, Metrodata Electronics memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan bisnisnya. Dalam paparan publik emiten pada Desember lalu, Metrodata memaparkan ada tujuh anak usahanya.
1. PT Mitra Integrasi Informatika (MII)
MII sudah berdiri sejak 1996 dan menjadi tombak utama bisnis Metrodata. MII menawarkan layanan bagi pelanggan koperasi pasar di berbagai sektor industri. Layanan ini mulai dari cloud services, digital business platform, big data, security, business application, hybrid IT infrastructure, consulting services, hingga managed services.
2. PT Soltius Indonesia (SI)
SI berdiri pada 1998 sebagai hasil joint venture antara IMC dan SCI Technologies, dua pemain besar di pasar SAP (System Application and Processing) di Indonesia. SAP ini banyak dipakai perusahaan untuk membuat sistem yang terpusat, sehingga setiap departemen dapat mengakses dan membagi data kepada setiap orang yang bekerja dalam satu perusahaan.
Bisnis SI berfokus pada pelanggan di segmen Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hingga perusahaan berskala besar. Kini, SI berhasil menjadi salah satu SAP Implementation Partner terbesar di Indonesia.
3. PT Synnex Metrodata Indonesia (SMI)
Sama seperti SI, SMI juga berdiri sebagai hasil joint venture MTDL dengan King’s Eye Investment, British Virgin Island. SMI sudah berdiri pada 23 Mei 2000 dengan nama Metrodata E Bisnis. Namun joint venture dilakukan pad 26 September 2011 sehingga nama perusahaan berganti menjadi SMI hingga sekarang.
SMI sendiri berfokus pada distribusi berbagai produk TIK kepada agen grosir. Perusahaan ini memiliki tujuh pusat distribusi di kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.
4. PT Packet Systems Indonesia (PSI)
Anak perusahaan MTDL ini berdiri pada 2014 sebagai partner dari Cisco. PSI sendiri menawarkan layanan IT berupa pusat data, Service Provider & Enterprise Network, solusi dari information security, dan layanan lainnya.
Pada 2017, sebuah perusahaan yang juga bergerak di bidang solusi IT, Logicalis, mengakuisisi PSI dan mengintegrasikannya ke dalam Logicalis Metrodata Indonesia (LMI). Seperti namanya, perusahaan ini adalah hasil joint venture antara kedua perusahaan induk ini.
5. PT Sinergi Transformasi Digital
Melansir dari laman perusahaan, Sinergi menawarkan lima solusi di bidang IT, yaitu cloud services, consulting adversary services, digital learning and sertification, managed services, dan security and hybrid IT infrastructure. Perusahaan ini sendiri baru berdiri pada 26 April 2021.
6. PT My Icon Technology (MIT)
Metrodata Electronics memiliki saham 99,99 % atas MIT. Perusahaan ini sudah berdiri sejak 2011 dan berperan sebagai divisi penjualan dari perusahaan induk, baik dari jalur ritel maupun toko elektronik. Produk yang ditawarkan adalah perangkat komputer, ponsel, beserta aksesorisnya.
7. PT Synnex Metrodata Technology & Services (SMTS)
Perusahaan ini dibangun pada 14 Maret 2016, berkat hasil kerja sama MTDL dengan PT Synnex Metrodata Indonesia dan King’s Eye Investments. SMTS sendiri bergerak sebagai pendukung kegiatan usaha PT Synnex Metrodata Indonesia (SMI) sebagai distributor perangkat TIK.
Saham Metrodata Awet di Zona Hijau
Perusahaan teknologi milik Ciputra ini sudah melantai di Bursa Efek Indonesia lebih dari 30 tahun, tepatnya sejak 9 April 1990. Emiten dengan kode saham MTDL ini menawarkan 1,47 juta lembar saham kepada publik dengan harga Rp 6.800 per lembar. Dari aksi korporasi tersebut, Metrodata menghimpun dana segar sebanyak Rp 9,98 miliar.
Adapun di awal 2022 pergerakan saham MTDL masih awet di zona hijau. Pada perdagangan Kamis (13/1), saham emiten data teknologi ini ditutup menguat 0,6 % ke level Rp 790 per lembar saham. Di mana, kapitalisasi pasar alias market cap Metrodata mencapai Rp 9,7 triliun.
Melansir data RTI, untuk jangka panjang atau dalam lima tahun terakhir harga saham MTDL sudah naik 474,8 %. Tren saham di zona hijau alias menguat juga terjadi di jangka menengah alias enam bulan terakhir, di mana harga saham MTDL sudah menguat 71,7 %.
Pada pertengahan Desember 2021, MTDL melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa alias RUPSLB. Dalam rapat tersebut, telah disepakati bahwa Metrodata akan melakukan stock split saham dengan rasio 1:5. Artinya, jika harga saham MTDL berada di kisaran Rp 750 per saham, maka ke depan akan ditawarkan seharga Rp 150 per lembar saham.
“Harga saham perseroan menjadi lebih terjangkau bagi investor, khususnya para investor ritel yang kami ketahui mengalami peningkatan yang tajam selama pandemi pasar modal,” dilansir dari keterangan resmi, Rabu (24/11).
Per tanggal 30 Desember 2021, RTI mencatat saham pengendali perusahaan dipegang oleh PT Ciputra Corpora dengan kepemilikan saham sebesar 35,8 % atau sebanyak 879 juta lembar. Porsi ini tidak jauh beda dengan jumlah saham yang dipegang publik yakni 34,7 % atau sebanyak 854,3 juta lembar saham.
Di posisi ketiga, terdapat nama DRA Medya Lengkey S., istri dari Hiskak Secakusuma pemimpin grup Pembangunan Jaya, yang memiliki 16,3 % saham MTDL. Namun bila ditilik dari paparan publik perusahaan, pemegang saham terbesar di urutan kedua justru Hiskak, diikuti nama Sukarto Bujung, pebisnis beras dengan merek dagang HOKI yang memegang 7,2 % saham MTDL.