Nelson Mandela Tokoh Anti Apartheid yang Mencintai Batik Indonesia
Nelson Mandela atau Nelson Rolihlahla Mandela merupakan revolusioner anti apartheid atau diskriminasi etnis. Nelson Mandela lahir di sebuah desa bernama Mvezo, desa Nelson Mandela dikenal sebagai Transkei, Afrika Selatan. Ayahnya, Nkosi Mphakanyiswa Gadla Mandela, merupakan kepala desa dan anggota keluarga dari suku Thembu yang berbicara bahasa Xhosa.
Sementara ibunya bernama Nonqaphi Nosekeni. Mandel nama panggilan kecil Nelson, tumbuh sebagai anak laki-laki yang mendapat perlindungan tetua dan kepala suku. Hal ini juga yang membuat Nelson Mandela mencintai warisan Afrika.
Ayahnya meninggal dunia pada 1930, saat itu Mandela baru berusia 12 tahun. Lalu Mandela diasuh oleh seorang wali bernama Jongintaba, seorang Wali Raja Tembu yang tinggal di Great Place di Mqhekezweni. Nelson Mandela menempuh pendidikan di Qunu.
Mandela kemudian berupaya untuk mendapat gelar Bachelor of Arts di University College Fort Hare. Namun dia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di sana, karena bergabung dengan aksi protes mahasiswa. Raja Tembu begitu geram mengetahui Nelson tidak menjalankan pendidikannya dengan baik, malah kembali ke Great Place.
Bahkan, Raja Tembu mengancam akan mencarikan istri bagi Mandela dan sepupunya, Justin apabila mereka tidak kembali ke Fort Hare. Keduanya memutuskan untuk kabur ke Johannesburg dan sampai 1941. Dilansir dari laman Nelsonmandela.org, Mandela bekerja sebagai petugas keamanan tambang di Johannesburg, lalu kemudian menjadi agen tanah.
Pada akhirnya, dia berhasil merampungkan studinya dengan meraih gelar BA, di University of South Africa. Lalu Nelson kembali ke Fort Hare untuk merayakan kelulusannya pada 1943. Mandela aktif terlibat dalam gerakan anti-apartheid dan bergabung dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1942.
Keluar-Masuk Buih
Dalam ANC, terdapat sekelompok kecil pemuda Afrika yang bersatu, menyebut dirinya sebagai Liga Pemuda Kongres Nasional Afrika (ANCYL). Nelson Mandela mendirikan firma hukum Mandela and Tambo. Dia bermitra dengan Oliver Tambo, rekan mahasiswanya di Fort Hare. Firma tersebut menyediakan layanan hukum gratis dan berbiaya rendah bagi orang kulit hitam.
Pada 1956, Mandela dan 150 orang lainnya ditangkap atas tuduhan berkhianat. Pada 1961, Mandela ikut mendirikan Umkhonto we Sizwe atau MK, sebuah cabang bersenjata ANC yang bertugas menyabotase dan menggunakan taktik perang gerilya untuk mengakhiri apartheid. Dia mengatur pemogokan pekerja nasional selama tiga hari.
Dia kembali memimpin aksi serupa pada tahun berikutnya dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Pada 1963, Mandela diseret ke pengadilan lagi. Kali ini, dia dan 10 pemimpin ANC lainnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena pelanggaran politik, termasuk sabotase.
Selama 27 tahun, Nelson Mandela menghabiskan waktunya mendekam di penjara, dari November 1962 sampai Februari 1990. Nyaris dua abad setelah bebas, dia kembali dipenjara di Robben Island hingga mengidap tuberkulosis.
Sebagai tahanan politik berkulit hitam, Mandela mendapat perawatan terendah. Meski dipenjara, dia berhasil mendapat gelar Sarjana Hukum melalui program korespondensi Universitas London. Pada 1981, agen intelijen Afrika Selatan bernama Gordon Winter mengungkap adanya plot yang dirancang pemerintah Afrika Selatan untuk mengatur pelarian Mandela.
Dengan begitu, pihak berwenang dapat menembaknya selama penangkapan. Namun, skenario itu digagalkan oleh intelijen Inggris. Pada 1985, Presiden PW Botha menawarkan pembebasan Mandela asalkan perlawanan bersenjata dihentikan. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Nelson Mandela.
Di sisi lain, terdapat tekanan dari masyarakat lokal dan dunia internasional untuk membebaskan Nelson Mandela semakin meningkat. Pemerintah Afrika pun terus membahasnya namun tidak kunjung mencapai kesepakatan. Sampai pada akhirnya, Frederik Willem de Klerk mengumumkan pembebasan Mandela pada 11 Februari 1990, untuk menggantikan Botha yang terkena stroke.
Dia juga membatalkan pemblokiran terhadap ANC, menghapus pembatasan pada kelompok politik dan membekukan eksekusi. Pada tahun 1993, Nelson Mandela dan Presiden de Klerk secara bersama-sama dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian. Pada 27 April 1994, Afrika Selatan menggelar pemilu demokratis pertama.
Penggemar Batik
Nelson Mandela terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama pada 10 Mei 1994, ketika usianya 77 tahun. Dari 1994 hingga Juni 1999, Presiden Mandela bekerja untuk mewujudkan transisi dari aturan minoritas dan apartheid menjadi aturan mayoritas kulit hitam. Pada ulang tahunnya yang ke-80, Mandela menikah dengan Graca Machel, yang akan menemani hingga akhir hayatnya pada 2013.
Pada 1996, Mandela menandatangani undang-undang konstitusi baru untuk negara, mendirikan pemerintahan pusat yang kuat, dan menjamin hak-hak minoritas serta kebebasan berekspresi. Sesuai dengan janjinya, Mandela mengundurkan diri pada 1999 setelah satu masa jabatan sebagai presiden. Meski demikian, dia terus bekerja pada Nelson Mandela Children's Fund yang didirikan pada 1995.
Selain itu, dia juga membentuk Yayasan Nelson Mandela dan Yayasan Mandela Rhodes. Pada 5 Desember 2013 di usia 95 tahun, Nelson Mandela meninggal dunia di rumahnya di Johannesburg, Afrika Selatan. Setelah menderita infeksi paru-paru pada Januari 2011, Mandela sempat dirawat di rumah sakit di Johannesburg untuk menjalani operasi akibat penyakit perut pada awal 2012.
Pada 2009, ulang tahun Mandela pada 18 Juli dinyatakan sebagai Hari Mandela, yaitu hari internasional untuk mempromosikan perdamaian global dan merayakan warisan pemimpin Afrika Selatan.
Nelson Mandela merupakan salah satu tokoh dunia yang mencintai kain Batik khas Indonesia. Perkenalan pertama Mandela dengan batik berawal dari kunjungan perdananya ke Indonesia pada 1990-an sebagai sebagai wakil ketua organisasi Kongres Nasional Afrika. Saat berkunjung ke Jakarta di awal masa kepresidenannya, dia mendapatkan baju batik pertama sebagai cinderamata dari pemerintah Indonesia.
Mandela mengenakan batik tersebut ketika datang kembali ke Indonesia tahun 1997 sebagai Presiden Afrika Selatan. Sejak itu ia sering mengenakan batik mulai dari kunjungan PBB hingga menggunakan batik sebagai pakaian kebesarannya. Saat sebagian besar pejabat Indonesia yang bepergian ke luar negeri cenderung bermain aman dengan memakai setelan dan dasi yang merupakan standar pakaian formal, Nelson Mandela menggunakan baju batik saat sidang-sidang international.
Jusuf Kalla bahkan meminta desainer terkenal di Indonesia, Iwan Tirta, untuk merancang batik khusus untuk Mandela. Sejak Mandela memakai batik di berbagai acara kenegaraan, masyarakat Afrika pun menjuluki kemeja batik dengan sebutan "kemeja Madiba" karena rakyat Afrika Selatan juga memanggil Mandela dengan nama Madiba.
Beberapa desainer Afrika Selatan pun merancang motif-motif batik lain untuk Nelson Mandela. Ada yang mengambil motif tradisional Afrika Selatan, tapi tak sedikit yang menggabungkan motif itu dengan motif Indonesia yang memang disukai Mandela. Uniknya, saat Mandela masih aktif di pemerintahan, masyarakat Afrika Selatan justru enggan memakai batik karena segan terhadap Nelson Mandela.
Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela juga memiliki kekaguman terhadap Presiden pertama Indonesia Soekarno. Di mata Nelson Mandela, Soekarno adalah tokoh yang membakar semangatnya memperjuangkan rakyat Afrika Selatan. Cerita kekaguman tokoh yang sering dipanggil dengan nama klan Xhosa-nya, Madiba itu, terekam baik saat Nelson Mandela mengunjungi Indonesia di awal tahun 1990.
Nelson Mandela kala itu mengunjungi Gedung Asia Afrika di Bandung. Gedung Asia Afrika yang menyimpan sejarah pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Afrika pada 18-24 April 1955 itu, baginya memiliki makna yang sangat berharga. Mandela merasa sangat terinspirasi dan terbakar semangatnya kala mendengar pidato Presiden Soekarno di konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Pidato itulah yang membakar perjuangannya memerdekakan rakyat Afrika Selatan. Namun, saat datang ke gedung Asia Afrika, betapa kagetnya Nelson Mandela yang saat itu baru keluar dari penahanan selama 27 tahun, tak mendapati foto Soekarno di gedung Asia Afrika. Sebab pemerintah yang berkuasa saat itu melarang untuk memajang apapun yang berhubungan dengan Bung Karno.